Thursday, May 31, 2007

ARTIKEL PENDIDIKAN

Guru Harus Menjadi Model Dalam Penyampaian Materi

Oleh NEULIS RAHMAWATI BARLIAN, S.Pd.
Keberhasilan proses belajar mengajar (PBM) dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti metode mengajar, sarana-prasarana, materi pembelajaran, kurikulum, dll. Dari berbagai aspek itu, yang memegang peranan penting PBM adalah guru. Selengkap apa pun sarana-prasarana, kalau tidak ditunjang oleh kompetensi guru terhadap bidang studi yang diajarkan, tidak akan berhasil.
Bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kompetensi yang harus dimiliki guru bahasa Indonesia tidak hanya penguasaan teori-teori serta materi bahasa dan sastra Indonesia saja. Tetapi yang lebih utama, guru harus memiliki kompetensi sebagai model dalam menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia karena tujuan utama pelajaran bahasa Indonesia yaitu terampil berbahasa.
Saya ingin berbagi pengalaman dengan guru bahasa dan sastra Indonesia berdasarkan pengalaman saya mengikuti pendidikan dan pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra (MMAS) yang diadakan oleh Departemen Pendidkan Nasional di Wisma Taruna Bandung pada 21 hingga 25 September 2004.
Diklat ini telah membuka mata dan hati saya untuk melaksanakan paradigma baru dalam mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia. Paradigma itu menuntut terampil berbahasa, menjadi model dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, serta dapat menyajikannya dengan cara yang menarik dan menyenangkan sehingga tujuan menjadikan siswa terampil berbahasa dapat dicapai.
Pelajaran bahasa adalah salah satu pelajaran yang kurang mendapat perhatian. Salah satunya disebabkan dalam menyajikan materi, guru belum mampu menjadi model dalam pelajaran itu. Padahal, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sangat penting dalam kehidupan sebagai sarana menyampaikan ide, gagasan, dan pendapat dalam berkomunikasi sehri-hari.
Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia menyangkut empat aspek yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam menyampaikan empat aspek keterampilan tersebut, guru dituntut terampil dulu berbahasa, jangan sampai guru bahasa hanya bisa menyuruh siswa, membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra. Sedangkan gurunya sendiri tidak pernah melakukannya.
Seperti yang diungkapkan Erwan Juhara, guru harus jadi model PBM bagi murid-muridnya dalam angka eksistensi sastra, dalam kehidupan akademis, yang selanjutnya memanfaatkan dampak positifnya dalam penciptaan atmosfir sastra di masyarakat.
Contohnya, banyak guru tidak bisa menjadi model yang baik saat ia membina budaya baca sastra karena guru sendiri tidak pernah membaca karya sastra. Begitu pun dalam mengajarkan menulis, guru tidak memiliki karya dan pengalaman mengarang. Ada juga guru yang menyuruh muridnya menyaksikan pertunjukan karya sastra sementara ia tak tertarik menyaksikan karya sastra.
Seperti yang diungkapkan Taufik Ismail dalam membantu memperbaiki pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi sastra, dikenal "Paradigma Baru Pengajaran Sastra", yaitu siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira.
Sastra sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat mereka antusias, dan yang mereka merasa perlu. Biasakan membaca karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai. Bukan melalui ringkasan.
Kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan. Dalam membicarakan karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berpikir yang logis. Pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra, cukup sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra. Pengajaran sastra mestinya menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa.
Untuk melaksanakan paradigma di atas, guru harus menjadi model penikmat karya sastra, dengan menceritakan pengalamannya menikmati bahasa, isi sastra, sehingga kegemarannya membaca karya sastra tergambar dalam dirinya. Nilai positif dalam karya sastra dipraktikkan dalam sikap dan perilakunya sehari-hari sehingga dapat menjadi contoh yang akan menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa.
Sebelum siswa membacakan puisi, guru harus terlebih dahulu membaca puisi di depan para siswanya dengan suara, sikap, dan penjiwaan yang baik. Guru juga harus mampu membacakan cerita dengan intonasi dan bahasa yang tepat sehingga tokoh-tokohnya hidup dan mampu menarik perhatian siswa. Guru pun harus terampil menulis, menyajikan karya tulisnya.
Misalnya, tahap awal anak diberi kuis untuk melengkapi tanda baca, menempatkan huruf kapital, membagi paragraf, dan menyusun paragraf. Setelah itu, guru memberikan sebuah contoh karangan yang bagus, baru siswa disuruh mengarang dengan ekspresi diri yang melegakan perasaan, melalui imajinasi yang kaya, sesuai dengan fantasi siswa.
Teori-teori mengarang disampaikan pada saat memeriksa karangan siswa. Hal ini dilakukan supaya siswa tidak hanya menguasai teori-teori tetapi terampil menulis. Tidak hanya menulis karya sastra tetapi juga karya ilmiah, menulis laporan, dan menulis surat.
Untuk keterampilan berbicara, guru dituntut terampil berpidato, terampil membawakan acara, dan berbicara lainnya. Dalam menyampaikan materi ini, guru harus berdasarkan pengalamannya, bukan hanya berdasarkan teori-teori di buku saja.
Guru yang memiliki kompetensi berbahasa yang baik akan membantu keberhasilan PBM yang berpusat kepada siswa. Hal ini sesuai dengan konsep dasar life skill (kecakapan hidup), yang menyangkut kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan kerja.
Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 24 Kota Bandung





































Metoda Mengajar Berdasarkan Tipologi Belajar Siswa

Oleh: Adrian **)
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran ( intruction ). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Dalam proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah kegiatan belajar mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu peserta didik, guru (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behaviour) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya. Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang menurut penulis penting adalah metodologi mengajar. Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya. Metodologi mengajar banyak ragamnya, kita sebagai pendidik tentu harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud/tercapai. Karena begitu pentingnya metode mengajar dalam pembelajaran maka penulis tergugah untuk menulis dan menguraikannya sehingga makalah ini penulis beri judul "Metode Mengajar Berdasarkan Tipologi Belajar Siswa". B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka timbul masalah-masalah sebagai berikut : 1. Benarkah pendidikan dapat menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam kegiatan pengajaran ? 2. Adakah Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) ? 3. Apakah komponen-komponen dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) ? 4. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 5. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 6. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 7. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 8. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, agar penguraian makalah lebih terarah dan terfokus maka penulis batasi pada point 4,5,6,7 dan 8 dari identifikasi masalah di atas yaitu : 1. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 2. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 3. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 4. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 5. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, Identifikasi dan batasan masalah maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 2. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 3. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 4. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 5. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? E. Tujuan Penulisan Makalah Penulisan makalah ini bertujuan untuk menginformasikan bagi para pembaca, bahwa betapa pentingnya metodologi mengajar dikuasai oleh pendidik, dan diusahakan metodologi yang dimiliki pendidik pada saat praktek disesuaikan dengan tipe belajar siswa, sehingga diharapkan materi yang kita sampaikan terekam dan tercerna oleh peserta didik, dan dapat ditunjukan oleh mereka pada sikap dan prilaku dalam kesehariannya. II. PEMBAHASAN A. Pengertian 1. Pengertian Tipe Tipe : sikap, gerak, gerik, lagak yang menandai ciri seseorang, atau gerakan tertentu yang diatur untuk menarik perhatian orang lain. 2. Pengertian Belajar ² Cronbach (1954) berpendapat : Learning is shown by a change in behaviour as result of experience ; belajar dapat dilakukan secara baik dengan jalan mengalami. ² Menurut Spears : Learning is to observe, to read, to imited, to try something themselves, to listen, to follow direction, dimana pengalaman itu dapat diperoleh dengan mempergunakan panca indra. ² Robert. M. Gagne dalam bukunya : The Conditioning of learning mengemukakan bahwa : Learning is a change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and wich is not simply ascribable to process of growth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi. Dalam teori psikologi konsep belajar Gagne ini dinamakan perpaduan antara aliran behaviorisme dan aliran instrumentalisme. ² Lester.D. Crow and Alice Crow mendefinisikan : Learning is the acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap. ² Hudgins Cs. (1982) berpendapat Hakekat belajar secara tradisional belajar dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam tingkah laku, yang mengakibatkan adanya pengalaman . ² Jung , (1968) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu proses dimana tingkah laku dari suatu organisme dimodifikasi oleh pengalaman. ² Ngalim Purwanto, (1992 : 84) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya.Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak ada perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna. Pada dasarnya prinsip belajar lebih dititikberatkan pada aktivitas peserta didik yang menjadi dasar proses pembelajaran baik dijenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) maupun Tingkat Perguruan Tinggi. 3. Pengertian Siswa / Peserta Didik ² A person registrered in an education and pursuing a course of study (Seseorang yang terdaftar pada sebuah lembaga pendidikan dan mengikuti suatu jalur studi). Asa S. Knowles, Editor-in-Chief, The International Encyclopedia of Higher Education, Volume 1, 1977. ² A student is a man or woman, who knows how tp read books. (Seorang peserta didik adalah seorang pria atau wanita yang mengetahui cara membaca buku-buku). The Future of The Indian University ² Peserta didik (siswa) adalah seseorang atau sekelompok orang yang bertindak sebagai pelaku pencari, penerima dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkannya untuk mencapai tujuan (Aminuddin Rasyad, 2000 : 105) ² Peserta didik atau siswa atau murid atau terdidik. Siapa dan bagaimana peserta didik itu ? 1) Peserta didik sebagai individu / pribadi ( manusia seutuhnya ) : Individu ini diartikan "Seseorang yang tidak bergantung pada orang lain, dalam arti benar-benar seorang pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidak dipaksa dari luar, juga mempunyai sifat dan keinginan sendiri ( Abu Ahmadi, 1991 ; 39 ) Untuk itu peserta didik harus dipandang secara filosofis, yaitu menerima kehadiran keakuannya, keindividuannya, sebagaimana mestinya ia ada ( eksistensinya ). 2) Peserta didik menurut tahap dan perkembangan umur a. 0 - 7 tahun masa kanak-kanak masa kanak-kanak adalah masa mulai bermain, berkawan, berkomunikasi dengan dunia luar. b. 7 - 14 tahun masa sekolah pada usia-usia 12 tahunan biasanya siswa memasuki masa kritis, dimana pendidik harus lebih memperhatikan dan memberi pengertian, serta bimbingan. c. 14 - 21 tahun puberitas masa puberitas terbagi tiga : a) Masa pra puberitas : wanita 12 - 13 th Laki-laki 13 - 14 th b) Masa puberitas : wanita 13 - 18 th Laki-laki 14 - 18 th c) Masa adolesen : wanita 18 - 21 th Laki-laki 18 - 23 th 3) Peserta didik menurut status dan tingkat kemampuan. Kata status disini diartikan dengan keadaan peserta didik dipandang secara umum dalam kemampuannya ( kecerdasannya ). Kemampuan peserta didik dapat digolongkan 3 kelompok : a. Peserta didik super normal b. Peserta didik normal c. Peserta didik sub normal Untuk lebih rincinya lihat skema dibawah ini : Genius IQ 140 keatas Super normal Gifted IQ 130 - 140Superior IQ 110 - 130Normal dan Normal IQ 90 - 110Derajat mental Sedikit di bawahNormal Sub Normal /Berdoline IQ 70 - 90Debil IQ 50 - 70Sub normal Insibil IQ 25 - 50Idiot IQ 20 - 254. Pengertian Tipe Belajar Siswa Dari pengertian-pengertian yang penulis uraikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe belajar siswa adalah suatu sikap atau lagak yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, berdasarkan pengalaman yang dialaminya sendiri dengan mempergunakan alat indranya. 5. Pengertian Metodologi Metodologi berasal dari bahasa Latin " Meta " dan " Hodos " meta artinya jauh (melampaui), Hodos artinya jalan (cara). Metodologi adalah ilmu mengenai cara-cara mencapai tujuan. 6. Pengertian Mengajar ² Arifin (1978) mendefinisikan bahwa mengajar adalah " . suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu ". ² Tyson dan Caroll (1970) mengemukakan bahwa mengajar ialah . a way working with students ... A process of interaction . the teacher does something to student, the students do something in return. Dari definisi itu tergambar bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan. ² Nasution (1986) berpendapat bahwa mengajar adalah " . suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar". ² Tardif (1989) mendefinisikan, mengajar adalah . any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar. ² Biggs (1991), seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu : a. Pengertian Kuantitatif dimana mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebai-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar. b. Pengertian institusional yaitu mengajar berarti . the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat , kemampuan dan kebutuhannya. c. Pengertian kualitatif dimana mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Dari definisi-definisi mengajar dari para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga terjadi proses belajar dan tujuan pengajaran tercaqpai. 7. Pengertian Metodologi Mengajar Dari definisi-definisi metodologi dan mengajar yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa pengertian metodolgi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Agar tujuan pengajaran tercapai sesuai dengan yang telah dirumuskan oleh pendidik, maka perlu mengetahui, mempelajari beberapa metode mengajar, serta dipraktekkan pada saat mengajar. B. Metode Mengajar Beberapa metode mengajar yang dapat divariasikan oleh pendidik diantaranya : 1. Metode Ceramah (Preaching Method) Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan saecara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Muhibbin Syah, (2000). Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham siswa. Beberapa kelemahan metode ceramah adalah : a. Membuat siswa pasif b. Mengandung unsur paksaan kepada siswa c. Mengandung daya kritis siswa ( Daradjat, 1985) d. Anak didik yang lebih tanggap dari visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya. e. Sukar mengontrol sejauhmana pemerolehan belajar anak didik. f. Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata). g. Bila terlalu lama membosankan.(Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Beberapa kelebihan metode ceramah adalah : a. Guru mudah menguasai kelas. b. Guru mudah menerangkan bahan pelajaran berjumlah besar c. Dapat diikuti anak didik dalam jumlah besar. d. Mudah dilaksanakan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 2. Metode diskusi ( Discussion method ) Muhibbin Syah ( 2000 ), mendefinisikan bahwa metode diskusi adalah metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah (problem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi kelompok (group discussion) dan resitasi bersama ( socialized recitation ). Metode diskusi diaplikasikan dalam proses belajar mengajar untuk : a. Mendorong siswa berpikir kritis. b. Mendorong siswa mengekspresikan pendapatnya secara bebas. c. Mendorong siswa menyumbangkan buah pikirnya untuk memcahkan masalah bersama. d. Mengambil satu alternatif jawaban atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan masalah berdsarkan pertimbangan yang seksama. Kelebihan metode diskusi sebagai berikut : a. Menyadarkan anak didik bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan b. Menyadarkan ank didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan pendapat secara konstruktif sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik. c. Membiasakan anak didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan pendapatnya dan membiasakan bersikap toleransi. (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Kelemahan metode diskusi sebagai berikut : a. tidak dapat dipakai dalam kelompok yang besar. b. Peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas. c. Dapat dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara. d. Biasanya orang menghendaki pendekatan yang lebih formal (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 3. Metode demontrasi ( Demonstration method ) Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Muhibbin Syah ( 2000). Metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan sesuatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran. Syaiful Bahri Djamarah, ( 2000). Manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi adalah : a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan . b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari. c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa (Daradjat, 1985) Kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut : a. Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atu kerja suatu benda. b. Memudahkan berbagai jenis penjelasan . c. Kesalahan-kesalahan yeng terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki melaui pengamatan dan contoh konkret, drngan menghadirkan obyek sebenarnya (Syaiful Bahri Djamarah, 2000). Kelemahan metode demonstrasi sebagai berikut : a. Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan. b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan c. Sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000). 4. Metode ceramah plus Metode ceramah plus adalah metode mengajar yang menggunakan lebih dari satu metode, yakni metode ceramah gabung dengan metode lainnya.Dalam hal ini penulis akan menguraikan tiga macam metode ceramah plus yaitu : a. Metode ceramah plus tanya jawab dan tugas (CPTT). Metode ini adalah metode mengajar gabungan antara ceramah dengan tanya jawab dan pemberian tugas. Metode campuran ini idealnya dilakukan secar tertib, yaitu : 1). Penyampaian materi oleh guru. 2). Pemberian peluang bertanya jawab antara guru dan siswa. 3). Pemberian tugas kepada siswa. b. Metode ceramah plus diskusi dan tugas (CPDT) Metode ini dilakukan secara tertib sesuai dengan urutan pengkombinasiannya, yaitu pertama guru menguraikan materi pelajaran, kemudian mengadakan diskusi, dan akhirnya memberi tugas. c. Metode ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL) Metode ini dalah merupakan kombinasi antara kegiatan menguraikan materi pelajaran dengan kegiatan memperagakan dan latihan (drill) 5. Metode resitasi ( Recitation method ) Metode resitasi adalah suatu metode mengajar dimana siswa diharuskan membuat resume dengan kalimat sendiri. Kelebihan metode resitasi sebagai berikut : a. Pengetahuan yang anak didik peroleh dari hasil belajar sendiri akan dapat diingat lebih lama. b. Anak didik berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Kelemahan metode resitasi sebagai berikut : a. Terkadang anak didik melakukan penipuan dimana anak didik hanya meniru hasil pekerjaan temennya tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri. b. Terkadang tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan. c. Sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 6. Metode percobaan ( Experimental method ) Metode percobaan adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Syaiful Bahri Djamarah, (2000) Metode percobaan adalah suatu metode mengajar yang menggunakan tertentu dan dilakukan lebih dari satu kali. Misalnya di Laboratorium. Kelebihan metode percobaan sebagai berikut : a. Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata guru atau buku. b. Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi. c. Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. Kekurangan metode percobaan sebagai berikut : a. Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak didik berkesempatan mengadakan ekperimen. b. Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, anak didik harus menanti untuk melanjutkan pelajaran. c. Metode ini lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang ilmu dan teknologi. 7. Metode Karya Wisata ( Study tour method ) Metode karya wisata adalah suatu metode mengajar yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik dan diharapkan siswa membuat laporan dan didiskusikan bersama dengan peserta didik yang lain serta didampingi oleh pendidik, yang kemudian dibukukan. Kelebihan metode karyawisata sebagai berikut : a. Karyawisata menerapkan prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran. b. Membuat bahan yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. c. Pengajaran dapat lebih merangsang kreativitas anak. Kekurangan metode karyawisata sebagai berikut : a. Memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak. b. Memerlukan perencanaan dengan persiapan yang matang. c. Dalam karyawisata sering unsur rekreasi menjadi prioritas daripada tujuan utama, sedangkan unsur studinya terabaikan. d. Memerlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap gerak-gerik anak didik di lapangan. e. Biayanya cukup mahal. f. Memerlukan tanggung jawab guru dan sekolah atas kelancaran karyawisata dan keselamatan anak didik, terutama karyawisata jangka panjang dan jauh. 8. Metode latihan keterampilan ( Drill method ) Metode latihan keterampilan adalah suatu metode mengajar , dimana siswa diajak ke tempat latihan keterampilan untuk melihat bagaimana cara membuat sesuatu, bagaimana cara menggunakannya, untuk apa dibuat, apa manfaatnya dan sebagainya. Contoh latihan keterampilan membuat tas dari mute/pernik-pernik. Kelebihan metode latihan keterampilan sebagai berikut : a. Dapat untuk memperoleh kecakapan motoris, seperti menulis, melafalkan huruf, membuat dan menggunakan alat-alat. b. Dapat untuk memperoleh kecakapan mental, seperti dalam perkalian, penjumlahan, pengurangan, pembagian, tanda-tanda/simbol, dan sebagainya. c. Dapat membentuk kebiasaan dan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan. Kekurangan metode latihan keterampilan sebagai berikut : a. Menghambat bakat dan inisiatif anak didik karena anak didik lebih banyak dibawa kepada penyesuaian dan diarahkan kepada jauh dari pengertian. b. Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan. c. Kadang-kadang latihan tyang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang monoton dan mudah membosankan. d. Dapat menimbulkan verbalisme. 9. Metode mengajar beregu ( Team teaching method ) Metode mengajar beregu adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang yang masing-masing mempunyai tugas. Biasanya salah seorang pendidik ditunjuk sebagai kordinator. Cara pengujiannya, setiap pendidik membuat soal, kemudian digabung. Jika ujian lisan maka setiap siswa yang diuji harus langsung berhadapan dengan team pendidik tersebut. 10. Metode mengajar sesama teman ( Peer teaching method ) Metode mengajar sesama teman adalah suatu metode mengajar yang dibantu oleh temannya sendiri 11. Metode pemecahan masalah ( Problem solving method ) Metode ini adalah suatu metode mengajar yang mana siswanya diberi soal-soal, lalu diminta pemecahannya. 12. Metode perancangan ( projeck method ) yaitu suatu metode mengajar dimana pendidik harus merancang suatu proyek yang akan diteliti sebagai obyek kajian. Kelebihan metode perancangan sebagai berikut : a. Dapat merombak pola pikir anak didik dari yang sempit menjadi lebih luas dan menyuluruh dalam memandang dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. b. Melalui metode ini, anak didik dibina dengan membiasakan menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan terpadu, yang diharapkan praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Kekurangan metode perancangan sebagai berikut : a. Kurikulum yang berlaku di negara kita saat ini, baik secara vertikal maupun horizontal, belum menunjang pelaksanaan metode ini. b. Organisasi bahan pelajaran, perencanaan, dan pelaksanaan metode ini sukar dan memerlukan keahlian khusus dari guru, sedangkan para guru belum disiapkan untuk ini. c. Harus dapat memilih topik unit yang tepat sesuai kebutuhan anak didik, cukup fasilitas, dan memiliki sumber-sumber belajar yang diperlukan. d. Bahan pelajaran sering menjadi luas sehingga dapat mengaburkan pokok unit yang dibahas. 13. Metode Bagian ( Teileren method ) yaitu suatu metode mengajar dengan menggunakan sebagian-sebagian, misalnya ayat per ayat kemudian disambung lagi dengan ayat lainnya yang tentu saja berkaitan dengan masalahnya. 14. Metode Global (Ganze method ) yaitu suatu metode mengajar dimana siswa disuruh membaca keseluruhan materi, kemudian siswa meresume apa yang dapat mereka serap atau ambil intisari dari materi tersebut. C. Perbandingan Ciri Khas Metode Mengajar Metode Sifat Materi Tujuan Keunggulan Kelemahan CeramahDemonstrasiDiskusi Informatif, faktualPrinsipal,faktual,keterampilanPrinsipal, konseptual, keterampilan Pemahaman PengetahuanPemahaman aplikasiPemahamanAnalisis, sintesis,Evaluasi, aplikasi Lebih banyak materi yang tersajiSiswa berpengalamanDan berkesan mendalam.Siswa aktif, berani dan kritis Siswa pasifLebih banyak alat dan biayaMemboroskan waktuDidominasiSiswa yangpintar Metode mengajar yang dimiliki pendidik usahakan divariasikan, agar siswa-siswi dalam kelas yang tipe belajarnya pasti beragam itu dapat menerima, mencerna, menguasai materi yang diberikan oleh pendidik seefisien dan seefektif mungkin. Bagaimana agar yang kita harapkan itu menjadi kenyataan ? Salah satu solusinya adalah pendidik disamping menguasai beberapa metode mengajar, harus tahu juga tipe belajar para siswanya. Supaya sinkron antara metode mengajar pendidik dengan tipe belajar peserta didik. Artinya metode yang digunakan dalam megajar telah disesuaikan dengan tipe belajar peserta didik. Misal tipe belajar siswa visual, maka akan lebih mudah dicerna oleh siswa apabila guru mengajar dengan slide, makalah, atau digambarkan langsung di papan tulis. Untuk itu mari kita lihat beberpa tipe belajar siswa . D. Beberapa Tipe Belajar Siswa Mengetahui tipe belajar siswa membantu guru untuk dapat mendekati semua atau hampir semua murid hanya dengan menyampaikan informasi dengan gaya yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tipe belajar siswa. Beberapa Tipe Belajar Siswa Sebagai Berikut : 1. Tipe Belajar Visual. Bagi siswa yang bertipe belajar visual, yang mememgang peranan penting adalah mata / penglihatan ( visual ), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih banyak / dititikberatkan pada peragaan / media, ajak mereka ke obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis. Ciri-ciri Tipe Belajar Visual : ² Bicara agak cepat ² Mementingkan penampilan dalam berpakaian/presentasi ² Tidak mudah terganggu oleh keributan ² Mengingat yang dilihat, dari pada yang didengar ² Lebih suka membaca dari pada dibacakan ² Pembaca cepat dan tekun ² Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi tidak pandai memilih kata-kata ² Lebih suka melakukan demonstrasi dari pada pidato ² Lebih suka musik dari pada seni ² Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya ² Mengingat dengan Asosiasi Visual 2. Tipe Belajar Auditif. Siswa yang bertipe auditif mengandalakan kesuksesan belajarnya melalui telinga ( alat pendengarannya ), untuk itu maka guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Karena akan sia-sialah guru yang menerangkan kepada siswa tuli, walaupun guru tersebut menerangkan dengan lantang , jelas dan dengan intonasi yang tepat. Ciri-ciri Tipe Belajar Auditif : ² Saat bekerja suka bicaa kepada diri sendiri ² Penampilan rapi ² Mudah terganggu oleh keributan ² Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat ² Senang membaca dengan keras dan mendengarkan ² Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca ² Biasanya ia pembicara yang fasih ² Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya ² Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik ² Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan Visual, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain ² Berbicara dalam irama yang terpola ² Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara 3. Tipe Belajar Kinestetik. Siswa yang bertipe belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan. Ciri-ciri Tipe Belajar Kinestetik : ² Berbicara perlahan ² Penampilan rapi ² Tidak terlalu mudah terganggu dengan situasi keributan ² Belajar melalui memanipulasi dan praktek ² Menghafal dengan cara berjalan dan melihat ² Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca ² Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita ² Menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca ² Menyukai permainan yang menyibukkan ² Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu ² Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi 4. Tipe Belajar Taktil. Taktil artinya rabaan atau sentuhan. Siswa yang seperti ini penyerapan hasil pendidikannya melaui alat peraba yaitu tangan atau kulit. Contoh : mengatur ruang ibadah, menentukan buah-buahan yang rusak (busuk) 5. Tipe Belajar Olfaktoris. Keberhasilan siswa yang bertipe olfaktoris , tergantung pada alat indra pencium, tipe siswa ini akan sangat cepat menyesuaikan dirinya dengan suasana bau lingkungan. Siswa tipe ini akan cocok bila bekerja di : laboratorium 6. Tipe Belajar Gustative. Siswa yang bertipe gustative ( kemampuan mencicipi ) adalah mereka yang mencirikan belajarnya lebih mengandalkan kecapan lidah. Mereka akan lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indra kecapnya. 7. Tipe Belajar Kombinatif. Siswa bertipe kombinatif adalah siswa yang dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan menggunakan lebih dari satu alat indra.Ia dapat menerima pelajaran dangan mata dan telinga sekaligus ketika belajar. Karena banyak ragam tipe belajar siswa, maka kita sebagai pendidik hendaknya mengenali betul anak didik kita dan hendaknya pendidik memiliki berbagai metode mengajar, agar siswa dapat menerima atau mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya dengan seefektif dan seefisien mungkin. F. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa a. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yaitu kondisi/keadaan jasmani dan rohani siswa b. Faktor ekstenal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan disekitar siswa. c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Untuk memperjelas uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa, perhatikan bagan di bawah ini : Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Belajar Ragam Faktor dan Elemennya Internal Siswa Eksternal Siswa Pendekatan Belajar Siswa 1. Aspek Fisiologis :- Tonus Jasmani- Mata dan telinga2. Aspek Psikologis- intelegensi- sikap- minat- bakat- motivasi 1. Lingkungan Sosial- keluarga- guru dan staf- masyarakat- teman2. Lingkungan Nonsosial- rumah- sekolah- peralatan- alam 1. Pendekatan Tinggi- speculative- achieving2. Pendekatan Sedang- analitical- deep3. Pendekatan Rendah- reproductive- surface G. Hubungan Metodologi Mengajar Dengan Tipe Belajar Beberapa metode mengajar yang telah penulis uraikan di atas sebaiknya dikuasai dan divariasikan oleh pendidik, dengan tujuan pada saat mengajar dipraktekkan langsung, agar siswa yang terdiri dari bebrapa tipe belajar tersebut dapat menyimak, menerima, mencerna dan mengerti, sehingga peserta didik dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti adanya perubahan tingkah laku yang positif yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, wawasannya lebih luas, tutur katanya lebih sopan serta gaya hidupnyapun lebih intelek. Metode mengajar jelas erat hubungannya dengan tipe belajar peserta didik, karena dalam proses belajar mengajar yang baik adalah apabila terjadi interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Untuk itu maka pendidik harus dapat menciptakan situasi yang nyaman, membangkitkan semangat belajar, menggairahkan dan membuat siswa antusias untuk belajar. Sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Bagaimana cara menciptakannya ?. Perhatikan tipe belajar terbanyak dari siswa yang kita ajar. Jika tipe belajar tebanyak adalah bertipe belajar auditif, maka kita akan tepat jika menggunakan metode ceramah atau mendengarkan kaset, tetapi diselingi juga dengan menunjukkan gambarnya (demonstrasi), dapat juga dengan memutarkan filmnya agar siswa dapat melihat (visual) dengan jelas apa yang terjadi. Dengan harapan peserta didik dalam kelas yang tipe belajarnya beragam itu, dapat menyimak, memperhatikan , sehingga terjadilah proses belajar mengajar dan terdapat interaksi dari keduanya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh di bahwa ini : seorang peserta didik baru saja menerima sebuah bingkisan hadiah berupa kotak, setelah peserta didik membukanya, ternyata kotak itu berisi rumah boneka Barbie dalam keadaan terurai terdiri dari 25 bagian yang terpisah-pisah dilengkapi dengan buku petunjuk setebal 20 halaman untuk membantu peserta didik dalam merangkai rumah Barbie tersebut. ¨ Bagaimana peserta didik mengatasi hal ini ? ¨ Apakah peserta didik membaca buku tersebut serta bingung dan tidak jelas sampai ia melihat ilustrasinya dan mulai menyambung bagian-bagiannya ? ¨ Ataukah sebaliknya, peserta didik merasa bingung dengan rangkaian bagian-bagian itu ? Tetapi setelah peserta didik membaca buku petunjuknya semuanya menjadi sangat jelas? v Jika peserta didik membaca ilustrasi dan akhirnya menjadi jelas bagi peserta didik, maka kemungkinan besar peserta didik tergolong pelajar Visual. v Karena pendidik tahu tipe belajar siswa yaitu bertipe belajar visual, maka alangkah baiknya pendidik menjelaskan materi dengan metode ceramah, dengan menggunakan slide atau dengan menggunakan modul. v Jika peserta didik tidak dapat menyelesaikan dalam merangkai bagian-bagian tersebut melalui buku petunjuk ataupun melalui gambarnya, kemudian peserta didik menelpon temennya yang membaerikan hadiah tadi dan menjelaskannya melalui telepon bagaimana cara merankainya dan akhirnya menjadi jelas, maka ini berindikasi bahwa peserta didik tergolong pelajar auditif. v Karena peserta didiknya bertipe belajar auditif, maka sebaiknya pendidik pada saat mengajar menggunakan metode ceramah, memutarakan kaset, atau divariasikan antara metode ceramah dengan tanya jawab. v Jika terlihat peserta didik dalam memulai penyelesaian dengan bagian-bagian tersebut secara fisik, mungkin peserta didik tergolong pelajar taktil. Dalam hal ini pendidik harus banyak menggunakan metode demonstrasi disamping metode ceramah atau divariasikan dengan metode latihan keterampilan. III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Metode mengajar yang bervariasi perlu dimiliki oleh pendidik dan dipraktekkan pada saat mengajar. 2. Tipe belajar peserta didik perlu diketahui oleh pendidik, melalui observasi agar pendidik dapat menyesuaikan metode apa yang akan diterapkan pada saat mengajar. 3. Tipe belajar siswa berbeda-beda, karena banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya : lingkungan tempat tinggal, keluarga, orang tua, dan sebagainya. 4. Pendidik yang bijaksana dalam pelaksanaan pengajaran (pembelajaran) selalu berfikir bagaimana murid-muridnya, apakah murid-muridnya dapat mengerti apa yang disampaikan, apakah murid mengalami proses belajar, apakah materinya sesuai dengan pemahaman dan kematangan anak, dan sebagainya. B. Saran 1. Metode mengajar hendaknya disesuaikan dengan tipe belajar siswa agar apa yang disampaikan dapat dicerna, dikuasai, dan dimengerti oleh peserta didik. 2. Hendaknya pendidik mengenal dan memahami peserta didiknya. 3. Pendidik hendaknya memiliki keterampilan metode mengajar yang bervariasi. 4. Bagi mereka yang terlibat dalam dunia keguruan, hendaknya secara antusias untuk meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan , khususnya yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam dunia pendidikan. * ) Materi ini pernah disampaikan pada Diskusi Mahasiswa Program PascasarjanaUHAMKA angkatan 8.
** ) Penulis adalah Mahasiswa S-3 Pada PPs Universitas Negeri Yogyakarta Angkatan IV Tahun 2004..

sumber: Pendidikan Network, 20 Oktober 2004
Cara Belajar Efektif

Langkah-langkah belajar efektif adalah mengetahui
diri sendiri
kemampuan belajar anda
proces yang berhasil anda gunakan, dan dibutuhkan
minat, dan pengetahuan atas mata pelajaran anda inginkan
Anda mungkin belajar fisika dengan mudah tetapi tidak bisa belajar tenis, atau sebaliknya. Belajar apapun, adalah proces untuk mencapai tahap-tahap tertentu.
Empat langkah untuk belajar.Mulai dengan cetak halaman ini dan jawab pertanyan-pertanyaannya. Lalu rencanakan strategi anda dari jawaban-jawabanmu, dan dengan "Pedoman Belajar" yang lain.
Mulai dengan masa lalu
Apakah pengalaman anda tentang cara belajar? Apakah anda
What was your experience about how you learn? Did you
senang membaca? memecahkan masalah? menghafalkan? bercerita? menterjemah? berpidato?
mengetahui cara menringkas?
tanya dirimu sendiri tentang apa yang kamu pelajari?
meninjau kembali?
punya akses ke informasi dari banyak sumber?
menyukai ketenangan atau kelompok belajar?
memerlukan beberapa waktu belajar singkat atau satu yang panjang?
Apa kebiasaan belajar anda? Bagaimana tersusunnya? Yang mana terbaik? terburuk?
Bagaimana anda berkomunikasi dengan apa yang anda ketahui belajar paling baik? Melalui ujian tertulis, naskah, atau wawancara?
Teruskan ke masa sekarang
Berminatkah anda?Berapa banyak waktu saya ingin gunakan untuk belajar?Apa yang bersaing dengan perhatian saya?
Apakah keadaannya benar untuk meraih sukses?Apa yang bisa saya kontrol, dan apa yang di luar kontrol saya?Bisakah saya merubah kondisi ini menjadi sukses?
Apa yang mempengaruhi pembaktian anda terhadap pelajaran ini?
Apakah saya punya rencana? Apakah rencanaku mempertimbangkan pengalaman dan gaya belajar anda?
Pertimbangkanproses,
persoalan utama
Apa judulnya?Apa kunci kata yang menyolok?Apakah saya mengerti?
Apakah yang telah saya ketahui?Apakah saya mengetahui pelajaran sejenis lainnya?
Sumber-sumber dan informasi yang mana bisa membantu saya?Apakah saya mengandalkan satu sumber saja (contoh, buku)?Apakah saya perlu mencari sumber-sumber yang lain?
Sewaktu saya belajar, apakah saya tanya diri sendiri jika saya mengerti? Sebaiknya saya mempercepat atau memperlambat?Jika saya tidak mengerti, apakah saya tanya kenapa?
Apakah saya berhenti dan meringkas?Apakah saya berhenti dan bertanya jika ini logis?Apakah saya berhenti dan mengevaluasi (setuju/tidak setuju)?
Apakah saya membutuhkan waktu untuk berpikir dan kembali lagi?Apakah saya perlu mendiskusi dengan "pelajar-pelajar" lain untuk proces informasin lebih lanjut?Apakah saya perlu mencari "para ahli", guruku atau pustakawan atau ahliawan?
Buatreview
Apakah kerjaan saya benar?Apakah bisa saya kerjakan lebih baik?Apakah rencana saya serupa dengan "diri sendiri"?
Apakah saya memilih kondisi yang benar?Apakah saya meneruskannya; apakah saya disipline pada diri sendiri?
Apakah anda sukses?Apakah anda merayakan kesuksesan anda?
Sumber: www.studygs.net

Mendidik dan Mengajar dengan Cinta
Oleh: Baedhowi *) dan Suparlan * *)
Guru yang baik akan memperlakukan siswanya seperti anaknya sendiri. Dia akan menjawab semua pertanyaan meskipun pertanyaan bodoh. (Fatmoumata [11 tahun] dari Chad).
Guru yang baik ialah yang menganggap semua muridnya sebagai anak-anaknya sendiri, yang setiap hari akan mendapat curahan kasih sayangnya. Guru yang baik ialah yang memberikan masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan. Guru yang demikian adalah guru yang berjasa meskipun tanpa diberi tanda jasa. Guru yang demikian substansinya adalah pahlawan. (D. Zawawi Imron)
Honesty is the first chapter in the book of wisdom. Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan (Thomas Jefferson)

Guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan dan pengajaran. Ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh dalam proses tersebut, yakni siswa, dan kurikulum. Selain itu ada faktor penunjang yang kini dipandang juga sangat fital keberadaannya, yakni fasilitas pendidikan. Dalam hal ini, perlu diakui bahwa pada masa lalu, sebelum dunia mengalami perkembangan teknologi yang maha dahsyat, proses pendidikan dapat dilakukan hanya di bawah pohon.
Mendidik sering dimaknai sama dengan mengajar. Sebenarnya, makna mendidik lebih luas maknanya dibandingkan dengan mengajar. Mendidik dapat dilakukan dengan cara mengajar. Tetapi mengajar di dalam kelas, sebagai misal, tidak selalu sebagai proses untuk mendidik. Memang, mendidik dan mengajar sering dimaknai secara tumpang tindih. Seorang guru mengajar di dalam kelas dengan maksud untuk mendidik peserta didik. Lebih dari itu, tingkah laku guru akan menjadi faktor yang penting dalam proses pendidikan, karena tingkah laku guru akan menjadi suri teladan bagi murid-muridnya. Pepatah petitih masa lalu "guru kencing berdiri, murid kencing barlari" sangat tepat untuk menggambarkan tentang proses pendidikan dengan suri keteladanan ini. Bahkan kini pepatah petitih itu dipelesetkan menjadi "guru kencing berdiri, murid mengencingi gurunya". Audzubillah.
Pendidikan memiliki tiga proses yang saling kait mengait dan saling pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain. Pertama, sebagai proses pembentukan kebiasaan (habit formation). Kedua, sebagai proses pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan ketiga adalah sebagai proses keteladan yang dilakukan oleh para guru (role model) (Prof. Suyanto, Ph.D, dalam Pembukaan Diklat Integrasi Imtaq, 2 Agustus 2005).


Kompetensi Guru
Untuk melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran, guru harus memiliki seperangkat kompetensi yang harus dikuasai dan dimiliki. Menurut Barlow, kompetensi adalah 'the ability of a teacher to responsibly perform his or her duties appropriately' (Muhibin Syah, 1995:230).atau 'kemampuan seorang guru untuk menunjukkan secara bertanggung jawab tugas-tugasnya dengan tepat'. Dalam hal standar kompetensi guru, Pearson (1980) telah mengidentifikasi guru yang kompeten dengan tiga masalah pokok, yakni: (1) what standards must a teacher meet to teach satisfactorily rather than minimally, (2) what skills are required in general for a person to perform at this level, (3) does the person in question have these requisite skills. Untuk menjelaskan tentang pengertian tentang kompetensi itulah maka Gronczi (1997) dan Hager (1995) menjelaskan bahwa "An integrated view sees competence as a complex combination of knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task performance". Dengan kata lain secara singkat dapat diartikan bahwa kompetensi guru merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya. Sejalan dengan definisi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan, Dikdasmen menjelaskan bahwa "kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak". Dijelaskan lebih lanjut bahwa "kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru" (Direktorat Tenaga Kependidikan, Standar Kompetensi Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2003: 5).
Berdasarkan pengertian tersebut, standar kompetensi guru dipilah ke dalam tiga komponen yang saling kait mengait, yakni: (1) pengelolaan pembelajaran, (2) pengembangan profesi, dan (3) penguasaan akademik. Ketiga komponen SKG tersebut, masing-masing terdiri atas beberapa kompetensi, komponen pertama terdiri atas lima kompetensi, komponen kedua memiliki satu kompetensi, dan komponen ketiga terdiri atas dua kompetensi. Dengan demikian, ketiga komponen tersebut secara keseluruhan meliputi 7 (tujuh) kompetensi, yakni: (1) penyusunan rencana pembelajaran, (2) pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (3) penilaian prestasi belajar peserta didik, (4) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik, (5) pengembangan profesi, (6) pemahaman wasasan kependidikan, dan (7) penguasaan bahan kajian akademik (sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan).

Cinta, Kepercayaan, dan Kewibawaan
Keseluruhan kompetensi tersebut harus dibungkus dengan sikap dan kepribadian guru yang baik. Salah satu nilai paling penting dalam sikap dan kepribadian guru yang bait itu adalah rasa cinta kasih guru kepada siswanya sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini. Seorang siswa Sekolah Dasar di negara Chad, ketika ditanya tentang guru yang bagaimana yang mereka inginkan, ia menyatakan "Guru yang baik akan memperlakukan siswanya seperti anaknya sendiri. Dia akan menjawab semua pertanyaan meskipun pertanyaan bodoh (Fatmoumata [11 tahun] dari Chad). Seorang sastrawan kondang dari Madura, D. Zawawi Imron, menyatakan bahwa "Guru yang baik ialah yang menganggap semua muridnya sebagai anak-anaknya sendiri, yang setiap hari akan mendapat curahan kasih sayangnya. Guru yang baik ialah yang memberikan masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan. Guru yang demikian adalah guru yang berjasa meskipun tanpa diberi tanda jasa. Guru yang demikian substansinya adalah pahlawan". Lebih dari itu, cinta kasih guru kepada semua siswanya tanpa pilih kasih haruslah dilandari dengan kejujuran. Bapak pendiri Amerika Serikat menyatakan "Honesty is the first chapter in the book of wisdom. Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan (Thomas Jefferson).
Memang, cinta merupakan salah satu penting dari tiga syarat penting dalam proses mendidik dan mengajar. Pertama adalah cinta, kedua adalah kepercayaan, dan ketiga adalah kewibawaan. Ketiga syarat ini saling pengaruh mempengaruhi dan saling kait mengait. Cinta akan menimbulkan kepercayaan. Seorang Ibu menyusui anaknya dengan rasa cinta. Seorang Bapak menimang-nimang anaknya dengan rasa cinta. Ketika sang anak ditimang-timang atau bahkan di angkat-angkat ke atas. Mengapa sang anak tidak takut jatuh? Karena sang anak memiliki kepercayaan kepada sang Bapak. Sang anak percaya bahwa Bapaknya tidak akan menjatuhkannya. Seterusnya, kepercayaan sang anak inilah yang menghadirkan kewibawaan bagi sang Bapak. Kewibawaan adalah kemampuan untuk dapat mempengaruhi orang lain. Kewibawaan akan lahir jika ada kepercayaan. Anak akan menurut atau mengikuti perintah dan arahan dari Bapak karena adanya kepercayaan kepada sang Bapak, atau dalam hal ini guru akan diikuti perintahnya oleh peserta didik jika peserta didik menaruh kepercayaan kepada gurunya. Itulah tiga syarat terjadinya proses pendidikan dan pengajaran.
Walhasil, guru melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran harus dengan rasa cinta. Dengan cinta yang tuluslah anak-anak kita akan menaruh kepercayaan kepada gurunya, dan dengan kepercayaan itu, sang guru akan menjadi guru yang berwibawa di mata murid-muridnya. So what gito lho? Dengan meminjam kalimat populer dari Aming dalam lagunya yang kocak itu, para guru harus dapat menilai dirinya sendiri, apakah para guru telah mendidik dan mengajar dengan modal cinta? Anda pada gurulah yang paling tahu. Wallhu alam bishawab.
*) Staf Ahli Mendiknas Bidang Kurikulum dan Media Pendidikan


Meningkatkan IQ Dan EI Melalui Matematika

Oleh: Sri Kurnia Dewi SPd(Guru SMU 2 Barabai - Banjarmasin)
Sistem pendidikan berubah lagi yaitu dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi. Sebenarnya secara materi/bahan tidak jauh berbeda. Yang membedakan dengan kurikulum terdahulu adalah cara atau metode pengajaran dan penekanan pada tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dengan kurikulum berbasis kompetensi anak didik sangat diharapkan memiliki kemampuan dasar yang termuat di dalamnya, juga memberikan wawasan yang luas, kuat serta mendasar pada anak didik, yang pada gilirannya mereka mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran mereka untuk menganalisa dan menyikapi situasi kondisi kehidupan yang mereka hadapi. Proses pendidikan sekarang tidak hanya bertujuan mempersiapkan anak didik untuk suatu pekerjaan tetapi jauh lebih luas yaitu memberikan kemampuan/kecerdasan, baik intelektual, emosional dan spiritual sehingga dapat menjadi pribadi sosial yang sukses dalam hidup. Dalam istilah umumnya membekali anak didik dengan life skill kemampuan untuk hidup.
Matematika sebagai salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran di sekolah mempunyai peranan penting. Matematika tidak hanya sebagai ilmu tetapi juga sebagai dasar logika penalaran dan penyelesaian kuantitatif yang dipergunakan dalam idang ilmu lain. Sehingga tidak heran matematika diberikan di hampir semua jenjang pendidikan bahkan termasuk dalam pelajaran yang diujikan secara nasional pada setiap akhir jenjang pendidikan.
Sebenarnya pun pada kurikulum terdahulu sudah termuat tujuan agar anak didik mempunyai pengetahuan mendasar yang dapat dikatakan sejalan dengan program kurikulum berbasis kopetensi dengan maksud membekali anak dengan life skill. Seperti pada kurikulum matematika SD (GBPP) yang menyebutkan tujuan khusus diberikannya matematika di sekolah dasar adalah:
a Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari hari.
b. Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika.
c. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut.
d. Membentuk sikap logis, kritis dan disiplin.
Matematika berbeda dengan ilmu lain, materi matematika bersifat hirarkis (berurutan dan berhubungan). Dalam mempelajarinya matematika harus kontinyu, rajin latihan dan disiplin. Seorang siswa sekolah Dasar yang menguasai matematika SD dengan baik dapat dengan mudah mencerna matematika SMP dan SMU atau sebaliknya, siswa Sekolah Dasar yang tidak menguasai dasar-dasar berhitung (matematika) SD akan banyak mengalami kesulitan dalam belajar matematika SMP dan SMU. Kelalaian mengusai dasar-dasar berhitung membuat orang mengalami kesulitan pada pelajaran selanjutnya.
Konsep Dasar
Penggalakan kualitas pendidikan matematika amat penting dimulai pada tingkat SD sebab disitulah dasar dari segalanya. Karena itu bagi guru SD sangat diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman konsep dasar matematika yang benar dan kuat pada anak didik. Kreatifitas guru dalam proses pendidikan sangat diperlukan di samping upaya-upaya menumbuhkan aspek intelektual, emosional dan spiritual harus tetap dilakukan dalam setiap pengajaran termasuk dalam pengajaran matematika. Hendaklah guru dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baik dalam proses pendidikan sehignga anak didik tumbuh minatnya dan termotivasi, jangan sampai anak didik beranggapan matematika itu menjemukan padahal yang lebih mereka tidak sukai adalah pengalaman mereka ketika mengikuti pelajaran matematika itu di sekolah daripada matematika itu sendiri.
Dalam mengajar sebuah konsep guru dapat mencari cara yang menarik agar anak didik berminat, bersemangat dan termotivasi dalam mempelajari matematika. Misalnya di SD yang sebagian besar materi matematikanya mencakup bilangan pecahan, dalam pelajaran ini guru dapat membuat permainan dalam kelompok dimana ada seorang ibu yang berusaha membagi sepotong kue (sejumlah uang) untuk ketiga anaknya sehingga setiap anak mendapat bagian yang sama. Atau dapat saja guru membuat skenario bahwa setiap anak diminta menyumbangkan seperempat (1/4) dari uangnya untuk saudara mereka yang sedang kena musibah banjir, merekapun menghitung berapa besarnya 1/4 dari uang mereka. Dengan demikian kita memberi pengalaman yang efektif pada mereka di samping mengasah intelektualnya (IQ), kita juga meningkatkan kecerdasan emosional (EI), mereka diajak berempati pada saudara saudara mereka yang sedang kena musibah, dan saling menolong itu memang kewajiban seorang muslim, diharapkan dengan begitu dapat mempertajam kecerdasan nilai spiritual mereka.
Pengembangan Kemampuan
Melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran matematika, anak didik diharapkan mengembangkan kemampuan untuk menemukan, memeriksa, menggunakan dan dapat membuat generalisasi, meskipun kita menyadari bahwa anak didik memerlukan waktu untuk menyelidiki lalu menemukan berbagai pola dan hubungan. Hal ini berarti pengembangan konsep, ketepatan istilah dan penggunaannya serta penekanan pada struktur matematika dan hubungannya antara pokok bahasan, harus diperhatikan dengan teliti oleh guru dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Mempersiapkan anak didik agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, krisis, cermat, kreatif, jujur dan efektif serta disiplin dengan, efektif serta disiplin, dengan kata lain mereka mempunyai kecerdasan inteletual, emosional dan spiritual. Harapan ini tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat, tetapi perlu waktu panjang dan terus menerus berksinambungan dalam suatu proses pendidikan yang dijalani dalam beberapa tahap/jenjang pendidikan.
Mengingat peran guru sangat penting dalam proses pendidikan dan perkembangan anak didik, maka kita sebagai guru juga perlu untuk terus meningkatkan wawasan pengetahuan melalui pelatihan, diskusi antar guru untuk saling berbagi pengalaman, dan rajin membaca untuk menambah wawasan. Selain itu juga perlu meningkatkan sikap cerdas baik intelektual, emosional dan spiritual, karena kita juga adalah pribadi sosial yang dihadapkan pada situasi kondisi kehidupan yang selalu berkembang di samping mempunyai tugas sebagai pendidik.
Sumber: Banjarmasin Post



Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan Kendala yang Muncul di Lapangan

Asmin*)
Abstrak: Proses belajar mengajar yang berkembang di kelas pada umumnya ditentukan oleh peranan guru dan siswa sebagai individu-individu yang terlibat langsung di dalam proses tersebut. Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik, setiap siswa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran baru yang tercipta melalui pemecahan masalah matematika realistik sehingga terbentuk suatu lingkungan belajar yang kondusif sedemikain rupa sehingga setiap individu dalam kelas dapat berfungsi dan dipandang sebagai sumber informasi atau sebagai sumber belajar. Hal ini dapat dimungkinkan dengan mengembangkan pola matematisasi horizontal yaitu transformasi masalah ke dalam model untuk pengetahuan matematika formal dan matematisasi vertikal berupa representasi hubungan-hubungan dalam rumus, yang menyesuaikan model matematika dalam pengunaan yang berbeda-beda.
Kata Kunci: Pembelajaran, Matematika Realistik (PMR), Proses belajar mengajar.
1. Pendahuluan
Tujuan pendidikan nasional seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).
Berbicara soal mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki jangkauan dan kajian yang sangat luas, terutama kajian pendidikan yang menyangkut pembelajaran di sekolah-sekolah. Jika dirunut ke belakang, maka dapat dispesifikkan lagi sampai kepada pembelajaran dari salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif bagi pencerdasan dan pencerahan kehidupan bangsa sekaligus turut memanusiakan bangsa Indonesia dalam arti dan cakupan yang lebih luas. Salah satu yang ingin dikaji yakni, Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang muncul di lapangan.
Masalah klasik dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi murid serta kurangnya motivasi dan keinginan terhadap pembelajaran matematika di sekolah.
Matematika yang diajarkan di sekolah terdiri dari elemen-elemen dan sub-sub bagian matematika yang dipisahkan atas pembagian yang terdiri dari: (1) arti/hakekat kependidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan daya nalar serta pembinaan kepribadian siswa; (2) adanya kebutuhan yang nyata berupa tuntutan perkembangan riel dari kepentingan hidup masa kini dan masa mendatang yang senantiasa berorientasi pada perkembangan pengetahuan seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam hal ini, pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah saat ini merupakan basic yang sangat penting dalam keikutsertaannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah barang tentu, pencapaian target “mencerdaskan kehidupan bangsa”, akan tetap segar bugar dan tegar menyongsong persaingan di era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diaplikasikan pada persaingan era industrialisasi pada semua aspek kehidupan yang relevan dengan kemajuan informasi dan komunikasi yang berkembang dengan pesatnya.
Menurut laporan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999 yang merupakan kriteria acuan, rendahnya daya saing murid Indonesia di ajang international (Indonesia diperingkat ke 34 dari 38 negara) menunjukkan betapa lemahnya kemampuan penguasaan matematika di negara kita ini.
Menurut Suyatno (1988), dalam pengajaran matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa variasi kreatif, kalau saja siswa ditanya, ada saja alasan yang mereka kemukakan, seperti matematika sulit, tidak mampu menjawab, takut disuruh guru ke depan, dan sebagainya. Sementara itu Syarien (1991) berpendapat adanya gejala matematika phobia (ketakutan anak terhadap matematika) yang melanda sebahagian besar siswa, sebagai akibat tak kenal maka tak sayang.

2. Kajian Literatur
2.1 Pendidikan Matematika Realistik dan Pembentukan Kemampuan Berpikir Siswa
Masalah klasik yang selalu muncul adalah keluhan masyarakat bahwa proses pembelajaran matematika di sekolah masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik, yakni seorang guru secara aktif mengajarkan matematika, kemudian memberikan contoh dan latihan, di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin, mereka mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru.
Menurut Soedjadi (1992) dalam upaya pembenahan sangat perlu keberanian, kejujuran untuk melihat kenyataan yang memang terjadi di lapangan tanpa harus mencari siapa yang salah serta dengan tulus ikhlas mengakui kelemahan yang ada, sekaligus dengan cermat tepat mengarahkan pembenahan kepentingan kualitas siswa sebagai generasi muda kita. Peningkatan kualitas peserta didik tidak dapat dilakukan dengan menutup mata pada kenyataan keanekaragaman lingkungan masyarakat Indonesia. Kita harus mampu menatap keluar, namun juga harus tanggap di dalam. Menatap keluar berarti kita harus mampu mengikuti perkembangan dan perubahan di berbagai negara yang intisarinya dapat dipetik dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Pada umumnya guru menguasai matematika hanya pada taraf penerapan, sehingga guru hanya mampu sampai taraf pengguna matematika. Akibatnya, ia tidak akan mampu berperanserta mengembangkan ilmu matematika menembus daerah ketidaktahuannya. Putman (1987) berpendapat bahwa salah satu aspek penting dalam pengajaran matematika adalah agar siswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu menggunakannya sebagai strategi untuk memecahkan berbagai masalah.
Kesempatan diskusi di kelas jarang dilakukan serta interaksi dan komunikasi kurang digalakkan. Seiring dengan proses pembelajaran seperti itu, menurut de Lange (2001) , bahwa tujuan pemberian materi matematika masih berdasarkan 'matematika untuk matematikawan' bukan 'matematika untuk anak-sekolah' yang seyogyanya fokus dan penerapannya harus disesuaikan dengan apa yang pernah dialami murid setiap harinya. Menurut Zulkardi (1999), hal ini bertentangan dengan kebutuhan masyarakat informasi saat ini di mana melek matematika (mathematics literacy) adalah tujuan yang amat penting. Implikasinya, bahwa tujuan, materi dan proses belajar matematika sekolah di Indonesia perlu direformasi.

2.2 Pemikiran yang Melandasi Pengajaran Matematika Realistik
Pengembangan Matematika realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap matematika (Freudenthal, 1991) yang berpandangan sebagai berikut: (1) matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi murid, dan (2) matematika harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pertama, untuk mulai dari fenomena atau kejadian yang real bagi murid maka prinsip Freudenthal's didactical phenomenology bahwa belajar harus mulai dari suatu masalah kontekstual yang pada akhirnya memunculkan konsep matematika yang dipelajari harus digunakan. Kedua, dengan menggunakan prinsip guided reinvention melalui progressive mathematizations, murid digiring secara didaktik dan efisien dari suatu level berfikir ke level berikutnya melalui matematisasi. Kedua prinsip ini dan prinsip self developed models (Gravemeijer, 1994) dioperasionalisasikan ke dalam lima karakteristik dasar dari Realistic Mathematic’s Education (de Lange, 1987; Gravemeijer, 1994) sebagai berikut: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi murid, (4) interaktivitas, (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.
De Lange (1993) menggarisbawahi masalah utama dalam mengimplementasikan yaitu bagaimana melatih guru untuk menggunakan materi baru dan mengajar dengan materi tersebut menggunakan pendekatan baru. Hal ini tampaknya kompleks karena adanya beberapa perubahan yaitu: (1) materi matematika berbeda dengan yang sebelumnya; (2) peranan guru berubah dari mengajar ke tidak mengajar; dan (3) materi evaluasi difokuskan pada soal-soal level menengah dan atas meskipun tidak melupakan level bawah. Perubahan ini harus diperhitungkan bila pendekatan RME akan diimplementasikan di Indonesia.
Pada tahun 1998, de Lange mengajukan alasan mengapa PMR cukup potensial untuk diterapkan di sekolah. Alasannya bahwa proses pengembangan konsep PMR dan berbagai gagasan matematika bermula dari dunia nyata dan pada akhirnya perlu merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika tersebut ke dalam bentuk alam yang nyata. Artinya, yang dilakukan dalam proses matematika adalah mengambil sesuatu dari bentuk dunia nyata di bawa ke dalam model matematisasi, dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke bentuk alam nyata. Hal ini digambarkan dalam model sebagai berikut.

Sejalan dengan itu, menurut Soedjadi (2001) Realistic Mathematics Education (RME) memiliki filsafat dasar yaitu bahwa “matematika adalah aktivitas manusia”, dan tidak lagi dipandang “siap pakai”. Filsafat ini mengakibatkan perubahan yang amat mendasar tentang proses pembelajaran matematika. Tidak lagi hanya pemberian informasi dalam pembelajaran matematika, tetapi harus mengubah menjadi aktivitas manusia untuk memperoleh pengetahuan matematika. Selanjutnya RME memiliki prinsip: 1) Reinvention dan progressive matematization, 2) Didactical phenomenology dan 3) Self-developed model. Karakteristiknya meliputi: 1) Menggunakan konteks, 2) Menggunakan model, 3) Menggunakan konstribusi siswa, 4) Interaksi, dan 5) Interwining.
Implementasi pendidikan matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasikan PMR sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian PMR di kelas harus didukung oleh sebuah perangkat yang dalam hal ini adalah buku ajar yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta (2001) bahwa implementasi PMR di kelas meliputi tiga fase yakni: fase pengenalan, fase eksplorasi dan fase meringkas.
Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya
Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide, mendiskusikan pola yang dibentuk saat itu, serta berupaya membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan strategi-strategi pemecahan masalah yang mungkin dilakukan berdasarkan pada pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa. Di sini guru berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi siswa, melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, dan memberi motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Bagi siswa yang berkemampuan tinggi, dapat diberikan pekerjaan yang lebih menantang yang berkaitan dengan masalah.
Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam pemecahan masalah. Sebelumnya mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang mereka lakukan. Dalam hal ini, guru membantu siswa meningkatkan kinerja matematika secara lebih efisien dan efektif. Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatif-alternatif pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep-konsep awal/utama atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.

2.3 Strategi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia
Selter dalam Zuklardi (2001) menekankan bahwa semua aktivitas PMR dimediasi melalui guru, khususnya melalui teacher's beliefs tentang bagaimana mengorganisir dan memfasilitasi murid belajar matematika. Dalam konteks ini, LPTK (pre-service atau in-service) memainkan peranan penting. Salah satu strategi kunci dalam situasi ini adalah melibatkan mereka, guru atau calon guru, dalam pengembangan profesi mereka (professional development) menggunakan strategi berikut: (1) kuliah alau training singkat (untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru atau calon guru), (2) pengembangan kurikulum (dengan mengadaptasi materi pembelajaran inovasi langsung ke kelas atau sekolah); dan (3) teknologi (untuk menyediakan media infonnasi yang kaya dan pendekatan baru itu).
2.4 Kurikulum PMR
Pendidikan Matematika Realistik mulai diperkenalkan dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia, yang tidak lain merupakan pengembangan gagasan pemikiran dari Freudenthal (1905-1990). Ide penerapan PMR pertama kali diperkenalkan di Negeri Belanda sekitar tahun 1970 oleh Institut Freudenthal, yang mengacu pada pemikiran Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini bermakna bahwa, matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti, manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan masalah-masalah realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak hanya mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).
Pertanyaan mendasar yang ingin dikemukakan adalah “bagaimana memperkenalkan PMR kepada guru-guru di sekolah dan bagaimana upaya pengimplementasiannya secara efektif di sekolah?”
Menurut Hadi (2001), pertanyaan tersebut menyangkut pendesainan program pengembangan profesional guru, dan sebagai konsekuensinya perlu disediakan materi kurikukum yang berbasis PMR sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program tersebut. Persoalannya kemudian adalah masih belum tersedia materi kurikulum yang berbasis PMR dan relevan dengan kurikulum yang saat ini berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut ada dua altematif, yaitu apakah mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia atau mengadaptasi materi PMR yang sudah ada dengan menyesuaikan konteksnya dengan konteks Indonesia. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, yang relevan adalah mengadaptasi. Materi PMR yang dipilih diambil dari MiC (Mathematics in Contect) yaitu materi PMR untuk kelas 5/6 s.d. 8/9 yang dikembangkan oleh University of Wisconsin dan Institut Freudenthal. Pertanyaan-pertanyaan operasional berikutnya adalah: (1) Dalam konteks Indonesia, bagaimanakah mengadaptasi materi PMR dari MiC? (2) Dalam implementasinya, bagaimanakah mengenalkan PMR kepada guru matematika? (3) Upaya pengelolaan yang bagaimana seharusnya dilakukan dalam mempersiapkan guru agar mampu mengajarkan PMR secara tepat dan efektif di sekolah?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut di atas, kiranya dibutuhkan pemikiran yang lebih luas dan usaha yang tepat dalam mempersiapkan kurikulum PMR yang sesuai untuk kondisi pedidikan dan budaya masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini PMR merupakan teori baru bagi sebagian besar orang di Indonesia, terutama para guru.
Pada dasarnya guru-guru matematika, dapat dikategorikan sebagai kelompok yang tidak memiliki ide atau pengertian apapun tentang PMR. Oleh karena itu, tidak rasional mengharapkan mereka terlalu dini mampu menerapkan PMR di kelas sebelum mereka mengenal secara baik apa dan bagaimana PMR itu.
Menurut Sembiring (2001) dalam RME permasalahan disajikan sedemikian rupa sehingga dimungkinkan muncul beberapa alternatif pemecahan soal. Dengan demikian diharapkan para siswa, atau kelompok siswa, datang dengan berbagai alternatif pemecahan soal. Ini mendorong adanya diskusi. Cara kerja seperti ini akan menumbuhkan percaya diri dan sekaligus menanamkan prinsip demokrasi pada diri siswa. Jadi melalui RME kita menanamkan pemahaman demokrasi.
Menurut Soedjadi (1994) bahwa kurikulum matematika yang ada sekarang ini jelas terlihat penekanannya terletak kepada apa yang harus diajarkan, tetapi kurang mengarahkan kepada bagaimana megajarkan materi ajaran itu. Pada dasarnya kurikulum dibuat untuk dapat memenuhi tuntutan kehidupan maupun tuntutan perkembangan ilmu yang demikian pesat serta perkembangan teknologi yang sudah langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan matematika realistik dalam perkembangan suatu bangsa di masa depan akan semakin penting, baik dalam makna formal (penataan nalar dan pembentukan sikap mental) maupun dalam makna material (terutama penggunaan matematika realistik). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin menuntut pemilihan materi matematika yang tepat untuk melayaninya. Ini jelas menuntut fleksibilitas kurikulum. Dalam pada itu kurikulum sekolah di suatu negara dapat melepaskan diri dari keadaan nyata lingkungan masyarakat negara itu. Indonesia yang satu tetapi bineka ini memerlukan kurikulum yang tidak melupakan mereka yang terbelakang sekaligus tidak membiarkan Indonesia selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum PMR yang berani jauh ke depan tanpa selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum yang berani jauh ke depan tanpa melupakan kenyataan yang kini ada. Memperhatikan hal-hal tersebut maka kurikulum matematika realistik sekolah di Indonesia harus diorientasikan kepada upaya mengangkat keterbelakangan dan mengejar ketertinggalan.
Mengapa kurikulum PMR perlu diorientasikan kepada upaya itu? Memperhatikan pengalaman, pengamatan dan hasil penelitian sporadis, jelas terlihat bahwa ada wilayah/sekolah yang sudah siap untuk cepat maju tetapi juga ada wilayah/sekolah yang memang secara nyata belum siap untuk maju cepat. Kenyataan demikian memerlukan rumusan kemampuan, yang perlu sesuai dengan lingkungan yang menuntut tingkah penalaran yang beragam. Berikut ini dikemukakan bagaimana orientasi kurikulum matematika sekolah itu perlu dijabarkan secara lebih jelas.
Organisasi kurikulum atau bentuk kurikulum menentukan bahan pelajaran, urutan, dan cara penyampaiannya kepada siswa. Subjek berarti pengalaman manusia yang disususn secara logis dan sistematis, atau diartikan juga mata pelajaran. Subjek kurikulum adalah bentuk kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran.
Apabila kurikulum matematika realistik itu dipandang sebagai suatu sistem, maka kurikulum matematika mempunyai 4 komponen utama yakni: (1) tujuan, (2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tersebut, (3) pengetahuan, yakni bahan pelajaran matematika realistik yang diperoleh dan digunakanan dalam proses belajar, dan (4) penilaian atau evaluasi hasil belajar matematika realistik yang gunanya untuk mengetahui hingga mana tujuan itu tercapai.
Keempat komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Tujuan yang telah ditetapkan itu menentukan bahan pelajaran apa yang harus dipilih yang dapat membawa siswa ke arah tujuan yang ditentukan. Bahan pelajaran matematika menentukan kegiatan belajar matematika yang harus dialami siswa. Jadi lebih dahulu harus dirumuskan tujuan, barulah kemudian bahan pelajaran matematika dan kegiatan belajarnya. Tujuan juga menentukan penilaian, apa yang dinilai dalam matematika dan bagaimana cara menilainya. Menilai pengetahuan matematika tidak sama caranya dengan menilai sikap atau keterampilan. Yang dinilai bukan hanya tujuan, melainkan juga bahan pelajaran dan kegiatan belajar. Jika komponen tujuan tidak tercapai, mungkin kesalahannya terletak pada komponen-komponen lainnya.
Dalam pembelaajran matematika realistik harus diperhatikan keseimbangan antara kononen-komponen itu. Pada experince atau capacity curriculum misalnya, terlampau mengutamakan kegiatan atau pengalaman belajar dan kurang mementingkan unsur pengetahuan, sedangkan subject curriculum mengutamakan aspek pengetahuan dan kurang mementingkan kegiatan atau pengalaman belajar. Gambaran komponen tujuan ini sebagai berikut.
Kurikulum PMR tidak hanya mengenai bagaimana mengorganisasikan dan mengintegrasikan bahan pelajaran matematika realistik itu sendiri, tetapi juga penilaian terhadap hasil diagnosis mengenai kelemahan atau kekuatan komponen-komponen kurikulum, sehingga dapat diketahui komponen mana yang perlu diperbaiki, misalnya mengajar, dan bahan pelajaran tidak sesuai dengan tingkat kematangan siswa.
Salah satu unsur pokok dalam pengajaran matematika realistik adalah matematika itu sendiri. Guru matematika realistik harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara umum yang bersifat nyata. Apakah matematika itu? Matematika adalah pengetahuan mengenai kuantitatif dan ruang, salah satu cabang dari sekian banyak cabang ilmu, yang sistematis, teratur dan eksak. Matematika adalah angka-angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan-kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem numerik Matematika membahas fakta-fakta dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan bentuk.
Matematika adalah queen of science (ratunya ilmu). Walau reputasinya tidak bernoda dalam hal metode, validitas dan logikanya, namun masih mempunyai problem dalam hal dasar logika. Matematika hanya dikembangkan secara sebagian-sebagian dan terus menerus mengalami perubahan, baik metode maupun isinya. Walaupun matematika jauh lebih eksak dari ilmu-ilmu sosial, dan lebih eksak dari ilmu-ilmu fisik, matematika tidaklah eksak secara absolut. Bagi seseorang yang telah diindoktrinasi dalam hal kebenaran absolut dan kesempurnaan matematika, jika melakukan studi tentang ahli-ahli dan sejarah matematika, bisa kehilangan harapan, tetapi bisa menemukan cahaya terang.
Orientasi pengajaran matematika kita saat ini cenderung sangat prosedural. Secara gamblang seorang guru menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika) mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus atau prosedur matematik tertentu. Kehadiran PMR dirasakan dapat memperbaiki kondisi tersebut, yaitu mengubah pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
Agar pembelajaran bermakna bagi siswa maka pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik. Kemudian siswa diberi kesempatan menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri dengan skema yang dimiliki dalam pikirannya. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi, dan mencari strateginya yang sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi dan tidak serta merta siswa telah melakukan aktivitas konstruksi. Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitsnya melakukan refleksi, interpretasi, dan internalisasi. Rekonstruksi itu dimugkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Guru membimbing mereka untuk menarik kesimpulan bagi diri masing-masing-masing. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau reinvention. Mula-mula matematisasi berlangsung secara horizontal dan dengan bimbingan guru siswa melakukan matematisasi vertikal (Marpaung: 2001).

2.5 Mempersiapkan Materi Kurikulum PMR
Penerapan PMR secara tepat guna di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan ketersediaan materi kurikulum berbasis PMR. Untuk itu diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia.
Menurut Hadi (2001) mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia akan memakan waktu yang panjang karena harus melalui rangkaian: (1) olah fikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan kurikulum yang berlaku); (2) ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri); (3) revisi berdasarkan hasil uji coba skala kecil; (4) uji coba oleh guru di kelas; dan (5) revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.
Apabila rangkaian evaluasi dan revisi terhadap draft materi kurikulum PMR tersebut dilaksanakan secara baik, akan menghasilkan materi yang userfriendly baik bagi siswa maupun guru. Walaupun demikian, ini tidak menjamin bahwa materi tersebut akan mendorong peningkatan prestasi siswa dalam belajar matematika. Ini akan dibuktikan setelah guru dan siswa menggunakan materi tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Berkaitan dengan pengembangan materi kurikuluni PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian: (1) konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa; (2) bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas; dan (3) gambar harus mendukung konsep.
Apabila upaya mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dianggap tidak efisien dalam jangka pendek, dapat dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Ini jauh lebih mudah dibanding mengembangkan sendiri. Namun beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian:
(1) Tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi, mengingat perbedaan budaya dan pengalaman siswa kita dengan siswa luar negeri. Bahkan untuk konteks yang sudah dikenal siswa, pengalaman sebelumnya tentang konteks tersebut dapat mempenganthi mereka dalam menyelesaikan soal.
(2) Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasakan oleh pengembang cukup dikenal, persoalan selanjutnya adalah pengadaptasian dan penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut. Penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia harus menyampaikan pesan yang sama agar tidak membingungkan.
(3) Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan. Hal ini terutama penting untuk ukuran kelas yang besar (40 s.d. 45 siswa per kelas). Karena kalau konteks masih memerlukan penjelasan lisan dari guru akan memakan waktu yang lama sebelum siswa-siswa siap bekerja menyelesaikan soal dalam materi kurikulum (buku siswa).
(4) Gambar dapat mempengaruhi siswa. Beberapa siswa menggunakan/menafsirkan gambar untuk menyelesaikan soal. Karena penafsiran yang keliru terhadap gambar yang menyertai soal, jawaban siswa menjadi salah.

2.6 Panguasaan Materi Ajar PMR
Menurut Putman (1987), tujuan pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar. Salah satu aspek penting dalam pencapaian transfer belajara matematika itu agar siswa menguasai konsep-konsep matematika, dan keterampilan PMR sehingga dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas, tidaklah mengherankan jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar PMR dari peserta didik masih perlu dikemas dengan lebih menarik. Lebih dari itu, adanya kenyataan bahwa peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal atau masalah yang sedikit saja keluar dari kurikulum atau dari buku paket. Menurut Soejadi (1992) bahwa kelemahan bermatematika siswa di jenjang SD yang sering diungkapkan oleh beberapa pihak, antara lain: (1) tidak dapat dengan cepat mengerjakan perkalian,dan pembagian; (2) mengerjakan pecahan; (3) memahami geografi; (4) menyelesaikan soal ceritera
Kelemahan-kelemahan tentang hal-hal yang mendasar di SD berpengaruh terhadap panguasaan materi ajar di SLTP dan juga di SMU; selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kemampuan melakukan analisis. Penguasaan materi ajar yang tidak mantap mengakibatkan gejala umum yaitu terlupakan dalam satu minggu.
Menurut Suharta (2001), dalam pengajaran matematika realistik dibutuhkan upaya: (1) penemuan kembali terbimbing dan matematisasi progresif; (2) fenomena didaktik; dan (3), mengembangkan model-model sendiri.
Dalam hal pertama, pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengalami sendiri proses penemuan matematika. Prinsip ini dapat memberikan inspirasi yang menerapkan prosedur pemecahan informal, di mana melalui matematisasi, siswa harus diberikan kesempatan untuk melakukan proses penemuan kembali (reinvention) konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya. Hal ini dapat dicapai bilamana pengajaran matematika realistik yang dilakukan menggunakan situasi yang kondusif berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika realistik bagi siswa.
Dalam hal kedua, pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan aspek aplikasi, dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Dalam hal ini siswa akan menggunakan pengetahuan matematika informal yang mereka miliki untuk memecahkan masalah matematika realistik yang mereka hadapi. Strategi-strategi informal yang dikemukakan siswa akan bervariasi, dan dengan demikian strategi-strategi informal yang diberikan oleh guru tidak sama dengan yang dikemukakan siswa, berarti akan ada peningkatan pengetahuan bagi siswa. Seorang guru matematika harus mampu mengakomodasi strategi-strategi informal yang dikemukakan oleh siswa dan dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika formal.
Dalam hal ketiga, pemecahan masalah matematika realistik harus mampu dijembatani melalui pengembangan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau dari pengetahuan matematika informal ke bentuk pengetahuan matematika formal. Artinya, model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan masalah yang mampu menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan guru. Melalui matematisasi horizontal, model tentang masalah berubah menjadi model untuk pengetahuan matematika formal, dan melalui matematisasi vertikal berubah menjadi model pengetahuan matematika formal.
Menurut Suwarsono (2001), kekuatan-kekuatan yang diperlukan untuk mengatasi kerumitan mengimplementasikan PMR di sekolah antara lain:
(1) Pemahaman tentang PMR dan upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar, mengenai berbagai hal, misalnya mengenai siswa, mengenai guru, mengenai peranan soal, peranan konteks, peranan alat peraga (manipulative materials), pengertian belajar, dan lain-lain.
(2) Pencarian soal-soal yang kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut masing-masing harus dapat diselesaikan dengan bermacam cara.
(3) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan setiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.
(4) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, dengan melalui soal-soal yang kontekstual, proses matematisasi horisontal, dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. Dalam hal ini diperlukan microdidaktics.
(5) Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan PMR.
(6) Penilaian dalam PMR lebih rumit daripada dalam pembelajaran yang konvensional (Lihat Verhage & de Lange, 1996).
(7) Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip PMR.

2.7 Matematisasi Horizontal dan mateamtisasi Vertikal dan kaitannya dengan Berpikir Lateral dan Berpikir Vertikal
Dalam pengajaran matematika realistik ini dapat dilakukan dua pendekatan yaitu melalui matematisasi horizontal dan vertikal (Treffers:1991). Ia mengatakan sebagai berikut: “Matematisasi horizontal adalah pemodelan situasi masalah yang dapat didekati dengan makna matematika. Atau dengan kata lain: menggiring dari dunia yang dirasakan kepada dunia lambang. Sepanjang pembagian tersebut kita mengamati bahwa dalam dunia konkrit berupa dunia yang dirasakan, hal tersebut bukan suatu indikasi tingkat kemutlakan tetapi sesuatu yang bersifat relatif. Misalnya, dari bagian-bagian dunia lambang dapat menjadi bagian dari dunia yang dapat dirasakan, dan dalam kenyataannya dapat bersifat pribadi. Matematisasi vertikal diarahkan pada perluasan dan bangunan keterampilan dan pengetahuan yang dirasakan di dalam sistem materi pokok yang terdapat dalam dunia lambang”.
Sementara menurut de Lange (1996), matematisasi horizontal mencakup: proses informal siswa untuk menyelesaikan sebuah soal, membuat model matematika, melakukan translasi antara modus yang ditampilkan, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain. Sedang matematisasi vertikal mencakup: proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula, pembuktikan keteraturan, mendesain model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan berbagai persoalan matematika realistik, prosedurnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Contoh matematisasi horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika.
Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam rumus, penghalusan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi memiliki nilai yang sama dalam PMR (Valden Heuvel-Panheuizen, dalam Suharta: 2001), dan hal ini digambarkan sebagai berikut:


Dalam PMR kedua jenis matematisasi tersebut berkaitan dengan cara berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Kedua pemikiran itu disebut sebagai berpikir lateral dan berpikir vertikal. Perbedaan kedua cara berpikir itu, menurut de Bono (1987) adalah sebagai berikut: Yang menjadi permasalahan dalam berpikir vertikal adalah kebenaran, sedangkan yang menjadi permasalahan dalam berpikir lateral adalah kekayaan ragam pemikiran. Berpikir vertikal menyeleksi jalur jalan dengan menyampingkan jalur jalan lainnya. Sebaliknya, berpikir lateral tidak menyeleksi tetapi berupaya merintis jalur jalan lainnya. Dalam berpikir vertikal kita memilih pendekatan yang paling memberi harapan pada suatu masalah, cara terbaik untuk mencari suatu situasi. Dalam berpikir lateral kita sedapat-dapatnya mengembangkan sebanyak mungkin pendekatan alternatif. Dengan berpikir vertikal kita mencari berbagai pendekatan sampai menemukan pendekatan yang memberi harapan. Dengan berpikir lateral kita berupaya mengembangkan terus sebanyak mungkin pendekatan, bahkan setelah kita menemukan sesuatu yang memberi harapan. Dengan berpikir vertikal kita mencoba memilih pendekatan yang terbaik, tetapi dengan berpikir lateral kita mengembangkan berbagai pendekatan demi pengembangan pendekatan. Dengan berpikir vertikal, kita bergerak ke suatu arah yang sudah ditetapkan dengan jelas ke arah pemecahan masalah. Kita menggunakan beberapa pendekatan yang nyata atau beberapa teknik yang nyata. Dengan berpikir lateral kita bergerak demi gerakan itu sendiri.

2.8 Kekuatan dan Kelemahan Matematika Realistik
Mengungkap berbagai kekurangan sama artinya mengemukakan berbagai kelemahan yang muncul di depan mata kita, sebagai suatu kenyataan apa adanya, hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran matematika yang telah berjalan pada kurun waktu yang lampau secara mutlak dipersalahkan atau sama sekali tidak memberi manfaat secara nyata kepada peserta didik. Namun, pemaparan berbagai kelemahan itu lebih diartikan sebagai titik tolak untuk mengambil tindakan positip sebagai upaya memberikan antisipasi berupa tindakan konkrit bertahap yang harus ditempuh selama pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Menurut Mustaqimah (2001) keunggulan dan kelemahan PMR adalah sebagai berikut:
Keunggulan
Kelemahan
1. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya

2. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok
5. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
6. melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7. Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara
1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya
2. Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai
4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu
5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberi nilai


2.9 Problem Solving Matematika Realistik
Dalam pembelajaran matematika realistik, salah satu hal yang penting dikuasai oleh seorang guru adalah bagaimana siswa mampu memecahkan masalah matematika yang sedang dihadapinya. Menurut Hudoyo (1981), pengajaran matematika akan dapat berlangsung efektif jika guru yang mengajarkan matematika memiliki keterampilan dalam proses pengerjaan matematika di kelas. Penyelesaian masalah dalam matematika realistik tidak terlepas dari bagaimana strategi belajar mengajar menyelesaikan masalah (problem solving) yang senantiasa muncul di kelas. Mungkin mengherankan untuk diketahui bahwa dalam mempelajari sifat-sifat masalah sedikit kegunaannya dalam menjelaskan pengertian problem (masalah). Pengertian problem terdapat dalam sikap orang menghadapi situasi yang mungkin merupakan problem atau bukan problem bagi mereka.
Namun demikian, apakah situasi tertentu dalam matematika realistik itu merupakan problem atau bukan bagi seorang siswa, tergantung pada bagaimana siswa menghadapi situasi itu. Dengan demikian dapat kita definisikan problem itu sebagai berikut: suatu situasi merupakan suatu problem bagi seseorang, jika orang itu menyadari eksistensinya situasi itu, perlu menghendaki tindakan, dia mau atau perlu bertindak, dia melakukan tindakan, dan dia tidak segera mampu menyelesaiakan problem itu. Dengan demikian problem solving dalam matematika adalah penyelesaian dari satu situasi dalam matematika yang dipandang sebagai satu peroblem matematika (Murtadho dan Tambunan: 1987).
Apabila definisi problem di atas dipertahankan, maka himpunan soal-soal latihan matematika realistik di sekolah harus diberi nama soal-soal latihan (exercises), bukan problem. Dalam hal ini, apakah soal-soal latihan matematika itu merupakan problem atau tidak, bergantung bagaimana siswa memandangnya dan tergantung pula bagaimana dia menyelesaikannya.
Yang perlu kita kritisi adalah kebanyakan soal-soal latihan dalam buku-buku teks matematika dirancang untuk latihan (drill) dan praktek rutin, walau banyak dari latihan dan praktek itu (tentu yang lebih sulit) benar-benar merupakan problem bagi hampir semua siswa. Di samping itu, tidak terlalu penting jika latihan, soal latihan, dan praktik itu disebut problem dan prosedur penyelesaiannya disebut keterampilan problem solving. Bagaimanapun juga, yang terpenting adalah guru matematika dan siswa mengetahui perbedaan antara belajar keterampilan matematika dengan menyelesaiakan soal-soal latihan dan belajar pendekatan umum terhadap problem solving matematika realistik dengan cara menyelesaiakan situasi yang benar-benar merupakan problem.
Secara umum para guru matematika percaya bahwa problem solving adalah aktivitas instruksional yang sangat penting dalam pengajaran matematika realistik, sebab tujuan belajar (learning objective) yang melalui penyelesaian problem dan melalui belajar prosedur problem solving umum, sangat nyata pentingnya dalam masyarakat. Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan bahwa strategi umum problem solving yang dipelajari dalam kelas matematika, dapat ditransfer dan digunakan ke situasi problem solving lainnya. Prinsip-prinsip yang dipelajari dan diaplikasikan dalam problem solving lebih banyak kemungkinannya ditransfer ke situasi problem solving lainnya daripada prinsip-prinsip yang tidak diaplikasikan dalam penyelesaian problem-problem.
Problem solving matematika realistik dapat menolong siswa meningkatkan kemampuan menganalisis dan dapat menolong mereka menggunakan kemampuan ini dalam situasi berbeda-beda. Penyelesaian problem dapat juga menolong siswa belajar fakta matematika keterampilan konsep dan prinsip-prinsip dengan mengilustrasikan pemakaian objek-objek matematika realistik dan interelasi objek-objek itu.
Karena problem solving adalah aktivitas yang mempesonakan hampir semua siswa, maka penyelesaian problem dalam pelajaran matematika realistik dapat meningkatkan motivasi, yaitu dapat membuat matematika realistik lebih menarik siswa. Akan tetapi problem solving dapat pula menurunkan motivasi, jika kecepatan, ketepatan, format, kenecesan, dan mencari jawaban yang benar, menjadi tujuan pengajaran problem solving di sekolah. Problem solving itu sulit dan dapat memfrustasikan siswa jika guru tidak menunjukkan kesabaran, pengertian, dan memberikan esistensi yang tidak mendorong siswa. Apabila guru mengerjakan problem solving dengan menciptakan lingkungan kelas yang menyenangkan dan mendukung, siswa dapat merasakan kepuasan mencari penyelesaian yang kreatif dan asli dari problem-problem matematika realistik tersebut.
Problem solving adalah proses dasar dalam matematika realistik dan merupakan sebagian karya para matematikawan yang jumlahnya banyak sekali. Oleh karena itu, siswa dapat mempelajari hakikat metematika dan aktivitas pakar matematika lebih baik, jika mereka menyelesaikan problem matematika secara realistik. Karena meneruskan warisan kebudayaan adalah tujuan yang penting dari sistem pendidikan, maka objek (fakta, keterampilan, konsep, prinsip-prinsip) dan metode (strategi problem solving) matematika realistik, yang merupakan bagian yang penting dari warisan ini harus diteruskan kepada siswa.
Problem dapat berasal dari berbagai sumber. Banyak problem yang dapat dikembangkan dari buku-buku teks yang sedang dipelajari. Yang lain dapat dikembangkan dari model-model situasi hidup di luar kelas. Yang lain lagi, dapat dikembangkan melalui penelitian berbagai keingintahuan akan matematika atau teka-teki matematika yang bersifat reaksional. Pengembangan problem matematika ini dapat dilakukan dengan cara: (1) mengembangkan problem dari materi dasar, (2) mengembangkan problem dengan teknik variasi, (3) pengembangan problem dari situasi hidup, dan (4) mengembangkan problem dari keingintahuan dan teka-teki matematika.

3. Simpulan
Dari kajian di atas disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menerapkan pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian pengalaman hidup sehari-hari dan mengaplikasikannya dalam dua real yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
(2) PMR berdasarkan pada ide teori Real Mathematics Educatiom (RME) yang menerapkan konteks dunia real, dan menggunakan model matematika, memproduksi hasil dan mengembangkan kemampuan siswa melalui interaksi guru dengan cara yang ramah, dan bersifat komunikatif.
(3) Model PMR akan membantu siswa membentuk sendiri pemahaman matematikanya dengan bantuan guru.
(4) Untuk melakukan perubahan pada diri siswa guru harus ikut melakukan perubahan dalam kepribadiannya, serta pengetahuan guru tentang alur belajar siswa juga harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
(5) Kita harus mampu menyiapkan materi kurikulum PMR yang memenuhi standar kualitas sebagaimana yang tercermin dalam ajaran-ajaran PMR, dan tidak sepadat materi yang terdapat dalam kurikulum sekarang ini.
(6) PMR akan lebih efektif diterapkan pada kelas yang tidak terlalu besar, berkisar 25-30 siswa yang ada di dalamnya.
(7) Pendekatan realistik yang menuntut kontribusi siswa, seyogianya memberi kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi, sementara guru harus berperan sebagai model dalam merefleksi yang dilakukan secara efektif dan konsisten.

Pustaka Acuan
De Bono, Edward. 1987. Berpikir Lateral. Buku Teks Kreativitas. Jakarta: Erlangga
De Lange, J. 1996. “Using Applying Mathematics in Education: Dalam International Handbook of Mathematics Education, Part One, Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
--------------. 1997. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW & OC.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting mathematics education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer
Academic Publisher.
Gravemeijer. 1994. Developing Realictics Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press/Freudenthal Institute.
Hadi, Sutarto. 2001. PMRI: beberapa catatan sebelum melangkah lebih jauh. Makalah Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Mastiqomah, Siti., Rumgayatri., dan Ratini. 2001. Pengalaman Dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika Secara realistik di MIN Yogyakarta II. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Murtadho, Sutrisman & Tambunan, G. (1987) Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika.
Putman, Ralp T. 1987. Mathematics Knowledge For Under Standing And Problem Solving. International Journal Of Educational Research. 11. (16). P. 67-70
Sembiring, R. K. 2001. Mengapa Memilih RME/PMRI. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context.” Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000).
Soedjadi. 1994 Orientasi Kurikulum Matematika Serkolah di Indonesia Abad 21. pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. Jakarta: Grasindo.
----------. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME (suatu pemikiran rintisan ke arah upaya baru). Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Suyatno, M. 1988. “Minat siswa terhadap matematika perlu ditumbuhkan”. Jakarta: Kompas. Tanggal 1 Februari
Syarien, Syafrinal. 1991. “Ada Gejala ‘matematika phobia”. Hasil Konferensi Nasional Matematika IV di Universitas Indonesia..” Bandung: Pikiran Rakyat tanggal 15 Juli
Undng-Undang Sistem Pedidikan Nasional (UU RI Nomor 2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika,
Zulkardi. 2001. Efektiviitas Ligkungan Belajar Berbasis Kuliah Singkat dan Situs Web sebagai suatu Inovasi Dalam Menghasilkan Guru RME di Indonesia. Makalah disajikan pada seminar nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
TIMSS. 1999. International Students Achievement in Mathematics. http://timss:bc.edu/timss1999i/pdf/T99i math 01.pdf
*) Asmin, adalah dosen FMIPA Universitas Negeri Medan, kandidat Doktor di Uiversitas Negeri Jakarta
Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.044 - September 2003, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas


























Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan Dan Implikasinya Pada Pembelajaran Matematika

Oleh: Rusdy A. Siroj
Abstrak: Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar murid-murid belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi behavior memandang bahwa proses belajar terjadi melalui ikatan stimulus-respon, sedangkan psikologi gestalt berpendapat proses pemerolehan pengetahuan didapat dengan memandang sensasi secara keseluruhan sebagai suatu objek yang memiliki struktur atau pola-pola tertentu, dan ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.

Kata-kata kunci: Pengetahuan, Matematika, Behavior, Gestalt, Konstruktivis
1. Pendahuluan
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku. Kedua,
perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dengan demikian, seseorang dikatakan belajar apabila setelah melakukan kegiatan belajar ia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu perubahan. Misalnya, ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, keterampilannya meningkat, sikapnya semakin positif, dan sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkah laku tanpa usaha dan tanpa disadari bukanlah belajar.
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Hal ini berarti bahwa belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar —dalam makalah ini yang dimaksud adalah pengetahuan (Hudojo, 1990:2). Perolehan hasil belajar dapat dilihat, diukur, atau dirasakan oleh seseorang yang belajar atau orang lain, tetapi tidak demikian halnya dengan proses belajar bagi seseorang yang sedang belajar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah terjadinya proses belajar sehingga seseorang memperoleh pengetahuan?
Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlangsung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk mengguna-kan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Misalnya Piaget (sebagai “bapak” psikologi kognitif), memandang bahwa pengetahuan terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Maksudnya, apabila pada seseorang diberikan suatu informasi (persepsi, konsep, dsb), dan informasi itu sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka informasi itu langsung berintegrasi (berasimilasi) dengan struktur kognitif yang sudah ada dan diperoleh pengetahuan baru. Sebaliknya, apabila informasi itu belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasi sehingga terjadi penyesuaian (akomodasi) dan baru kemudian diperoleh pengetahuan baru. Sebagai contoh, pada anak yang telah memiliki pengetahuan tentang konsep segitiga, kemudian diberikan oleh guru persegi panjang. Karena konsep persegi panjang ini belum cocok dengan konsep segitiga yang telah dimiliki anak, maka konsep segitiga itu direstrukturisasi sehingga dapat bersesuaian dengan konsep persegi panjang. Setelah itu, pengetahuan tentang konsep persegi panjang tersebut dapat berintegrasi dengan pengetahuan yang telah ada dan diperoleh pengetahuan baru berupa konsep persegi panjang.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya khususnya pengetahuan matematika, maka tulisan ini akan membahas beberapa pandangan psikologis yang berkaitan dengan hal itu. Ada tiga pandangan psikologi utama yang akan diuraikan dalam tulisan ini yaitu pandangan psikologi Behavioristik, Gestaltik, dan Konstruktivistik. Uraian dalam makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal untuk memahami, mendorong, dan memberikan arah terhadap kegiatan belajar-mengajar matematika di sekolah.
2. Kajian Literatur dan Pembahasan
2.1 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Psikologi Behavioristik
Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam Orton, 1991:39; Resnick, 1981:12), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thorndike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) menge-mukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan --yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus—respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
Gagne—yang disebut Orton (1991:39) sebagai modern neobehaviourists— membagi belajar dalam delapan jenis, yaitu dimulai dari belajar yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah). Namun di dalam praktiknya, kedelapan tipe/jenis belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon (Bell, 1981:108-123; Hudojo, 1990:25--30).
Hal tersebut dapat dijelaskan dari pendapat Gagne (dalam Hudojo, 1990:32), bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan. Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon) kemudian diberi kode (secara mental). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan). Pengetahuan yang diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan yang telah disimpan pada tahap ketiga.
Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respon. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1998:4) bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respon, semakin sering asosiasi ini digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi. Jika dihubungkan dengan pengetahuan matematika, hal ini berarti semakin sering suatu konsep matematika (pengetahuan) diulangi maka konsep matematika itu akan semakin dikuasai. Sebagai contoh, apabila seorang anak telah mengetahui bahwa 3 x 4 sama dengan 12, kemudian anak tersebut sering ditanya tentang hal itu, maka ia akan semakin paham dan bahkan secara otomatis dapat menjawab dengan benar apabila ditanya, karena ikatan stimulus yaitu ”3 x 4 “ dengan responnya yaitu “12” akan semakin kuat.

2.2 Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan Psikologi Gestaltik
Psikologi gestalt dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism). Teori gestalt dibangun dari data hasil eksperimen yang sebelumnya belum dapat dijelaskan oleh ahli-ahli teori asosiasi. Meskipun pada awalnya psikologi gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakikat belajar dan pemecahan masalah (Resnick & Ford, 1981:129-130).
Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting. Menurut Kohler (dalam Orton, 1991:89) berpikir bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu. Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat dengan belajar dengan pengkaitan stimulus dan respon. Berdasarkan hasil penelitiannya ia membuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana (Resnick & Ford, 1981:143-144).
Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton, 1990:89). Para pengikut gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak jelas. Menurut Katona (dalam Resnick& Ford, 1981: 139) penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat memahaminya dengan tepat. Untuk lebih memahami uraian di atas, perhatikan ilustrasi pada Gambar 1.
Gambar 1 Konfigurasi TitikDiadopsi dari Resnick & Ford (1981:130)
Pada setiap gambar di atas terdapat bundaran kosong menunjukkan posisi yang berbeda sesuai dengan konteks (organisasi perseptual). Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan gestaltist seseorang yang memperhatikan konfigurasi titik (bulatan) yang terdapat pada setiap gambar (a) sampai (d) tidak hanya sebagai kumpulan titik yang terpisah-pisah, tetapi titik itu teorganisir berdasarkan prinsip tertentu. Dengan demikian, orang akan memahami setiap gambar itu sebagai kumpulan titik yang secara keseluruhan membentuk; (a) layang-layang (diamond), (b) segiempat, (c) segitiga, dan (d) segidelapan.
Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami.

2.3 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Konstruktivistik
Matthews (dalam Suparno, 1997) secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologi dan sosiologi. Kemudian konstruktivisme psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu: (1) konstruktivisme radikal, yang lebih bersifat personal, individual, dan subyektif, dan aliran ini dianut oleh Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan (2) konstruktivisme sosial, yang lebih bersifat sosial, dan aliran ini dipelopori oleh Vigotsky. Ernest (1996) secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak constructivism). Selanjutnya, yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah konstruktivisme psikologi/radikal yang dipelopori oleh Piaget dan konstruktivisme sosial yang dipelopori oleh Vygotsky.
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme psikologi/radikal dalam belajar dipelopori oleh Piaget (Suparno, 1997). Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan. Bagi kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan stimulus-respon. Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana. Artinya, pebelajar dalam keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Bagi Piaget pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang/pebelajar terhadap lingkungan (Orton, 1991).
Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget (dalam Bell, 1981: Stiff dkk., 1993) berpendapat bahwa skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut. Hal itu, dikarenakan informasi baru tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah ada. Jika informasi baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang lama, maka akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemta yang telah ada, maka skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi baru itu.
Dengan kalimat lain, pandangan Piaget di atas dapat dijelaskan bahwa apabila suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata (sruktur kognitif) yang telah dimilikinya maka pengetahuan itu akan diadaptasi melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada maka akan terjadi disequilibrium, kemudian struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali agar dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi equilibrium, sehingga pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi pengetahuan skemata baru. Untuk memperjelas uraian di atas perhatikan ilustrasi berikut.
Misalkan, pada seorang anak bernama Muhsin telah terbentuk skemata tentang persamaan linear yaitu pengertian persamaan linear, bentuk umum persamaan linear (ax + b = c), dan teknik penyelesaiannya. Suatu ketika kepadanya diperkenalkan persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0. Karena pengetahuan yang terbentuk dalam skemata Muhsin adalah tentang persamaan linear dan tidak cocok dengan persamaan kuadrat, maka Muhsin akan mengalami disequilibrium. Agar skemata tentang persamaan kuadrat itu dapat dibentuk, maka skemata tentang persamaan linear yang telah ada direstrukturisasi sehingga persamaan kuadrat dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasi dan diadaptasi, sehingga terjadilah keadaan equilibrium. Akhirnya, terbentuklah skemata baru atau pengetahuan baru yaitu persamaan kuadrat.
Dengan demikian, asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek penting dari proses yang sama yaitu pembentukan pengetahuan. Kedua proses itu merupakan aktivitas secara mental yang hakikatnya adalah proses interaksi antara pikiran dan realita. Seseorang menstruktur hal-hal yang ada dalam pikirannya, namun bergantung pada realita yang dihadapinya. Jadi adanya informasi dan pengalaman baru sebagai realita mengakibatkan terjadinya rekonstruksi pengetahuan yang lama yang disebut proses asimilasi-akomodasi sehingga terbentuk pengetahuan baru sebagai skemata dalam pikiran sesorang.
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner. Meskipun Bruner mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget tetapi teori-teori belajarnya sangat relevan dengan tahap-tahap perkembangan berpikir seperti yang dikemukakan Piaget. Salah satu teori belajar Bruner yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi. Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak anak-anak masih kecil (Bell, 1981:143).
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme sosial dipelopori oleh Vygotsky. Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan matematika merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan matematika adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif matematika yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan matematika; obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial (Ernest, 1991:42). Lebih lanjut, Ernest (1991: 43) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif matematika diinternalisasi dan dikonstruksi oleh siswa selama proses belajar matematika. Hudojo (2003: 1) menjelaskan proses rekonstruksi metematika yang dilakukan oleh siswa itu (menggabungkan pendapat Ernest, 1991dan Leiken & Zaslavsky, 1997) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan siswa dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi metematika konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Ketiga, pengetahuan subyektif matematika tersebut di”kolaborasi”kan dengan siswa lain, guru dan perangkat belajar (siswa-guru-perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, matematika yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi siswa setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika.
Untuk lebih memahami uraian di atas (siklus melingkar proses rekonstruksi matematika) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Proses Rekonstruksi Matematika oleh Siswa(Adopsi dari Hudojo 2003)
Dari uraian dan contoh serta dalam gambar di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme radikal/personal maupun konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial.

2.3 Implementasi Pandangan Behavioristik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Para penganut aliran behaviorisme memandang terbentuknya pengetahuan karena terjadinya ikatan antara peristiwa-peristiwa (stimulus) yang dirangsangkan kepada seorang pebelajar dengan tanggapannya (respon) terhadap rangsangan itu. Semakin sering ikatan stimulus (S) dan respon ( R) dipergunakan maka akan semakin kuatlah ikatan itu. Jadi, kegiatan belajar sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan, dipandang sebagai sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Semakin sering sistem respon ini dilakukan, maka akan semakin dikuasai pengetahuan yang diperoleh. Oleh karena itu, guru-guru yang mengikuti faham behavioristik ini lebih banyak menggunakan pendekatan pembelajaran latihan dan drill. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Sebagai konsekuensi faham ini, guru-guru matematika yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Kemudian tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Sebagai contoh, misalkan bahan yang akan diajarkan adalah definisi relasi ekivalen. Pertama, diajarkan definisi refleksi, kemudian definisi simetri. Selanjutnya, dijelaskan kaitan antara definsi refleksi dan definsi simetri dan didapat definisi transitif. Akhirnya, diajarkan kaitan ketiga definisi, refleksi, simetri, dan transitif untuk mendefinisikan relasi ekivalen.
Dalam proses pembelajaran, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah dan ekspositori. Dalam proses pembelajaran seperti itu guru merupakan sentral, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid yang mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

2.5 Implementasi Pandangan Gestaltik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran manusia menginterpretasikan semua sensasi/informasi. Sensasi/informasi yang masuk dalam pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian/struktur tertentu. Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk suatu pengetahuan baru.
Dalam kaitan dengan pembelajaran matematika, uraian di atas dapat diperjelas dengan ilustrasi berikut. Andaikan seorang guru meminta siswanya untuk menentukan jumlah n suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + n.. Menurut pandangan gestalt, agar siswa dapat menjawab dengan benar ia harus memahami struktur masalah tersebut. Untuk mengarahkan siswa pada pengenalan struktur masalah yang akan diselesaikan, guru dapat membantunya dengan memberikan masalah yang lebih sederhana yaitu jumlah 10 suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + 10. Dengan demikian, diharapkan siswa dengan mudah dapat melihat strukturnya yaitu 10 + 1 = 9 + 2 = 8 + 3 = 7 +4 = 6 +5. Sehingga 1 + 2 + 3 + … + 10 = (10 + 1) + (9 + 2) + (8 + 3) + (7 + 4) + (6 +5) = 11 + 11 + 11 + 11 +11 = 5 x 11 = 10/2 x (10 +1). Akhirnya, siswa akan menemukan bahwa 1 + 2 + 3 + … + n = (n + 1) + (n-1 + 2) + (n-2 + 3) + … + ((n - n + 1) + n) =n (n +1).
Guru-guru matematika yang menganut pandangan gestal ini, akan mendesain proses pembelajaran matematika sedemikian rupa sehingga anak dapat belajar matematika dengan pengertian yaitu didasarkan pada pengorganisasian komponen-komponen materi yang akan dipelajari dan berhubungan secara terstruktur. Berarti kegiatan pembelajaran lebih berpusat pada murid. Tujuan pembelajaran lebih beorientasi pada proses dibandingkan dengan hasil akhir. Pendekatan pembelajaran matematika yang dapat memenuhi pandangan gestaltist ini adalah penemuan (reinvent/discovery) atau dengan pemecahan masalah.

2.6 Implementasi Pandangan Konstruktivistik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pendekatan Matematika
Berdasarkan pandangan konsruktivistik tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pebelajar untuk membangun pengetahuannya. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan (skemata) yang telah dimiliki pebelajar dan ini berlangsung secara mental. Dengan demikian, hakikat dari pembelajaran matematika adalah membangun pengetahuan matematika.
Sebagai implikasi dari hakikat belajar matematika itu maka proses pembelajaran matematika merupakan pembentukan lingkungan belajar yang dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (Nickson dalam Grows, 1992:106). Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstrukstivisme adalah sebagai berikut.
(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep matematika melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
(6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mau belajar.
3 Simpulan dan Saran
Dalam era globalisasi saat ini, dunia terasa semakin sempit. Jarak dan ruang yang membatasi antarnegara terasa hilang. Arus informasi mengalir cepat seolah tanpa hambatan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di belahan bumi barat akan segera diketahui dan ditransformasi di belahan bumi bagian timur dan seterusnya.
Selain itu, globalisasi juga telah menghantarkan suasana kehidupan semakin rumit (complicated), cepat berubah dan sulit diprediksi (unpredictable). Kondisi ini membawa dampak persaingan yang sangat ketat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Siapa yang memiliki keunggulan kompetitif, dialah yang akan mendapatkan kemudahan hidup.
Agar dapat menghadapi dan mengikuti kondisi seperti di atas, pendidikan (khususnya pembelajaran matematika) harus memberi bekal yang cukup pada generasi baru anak Indonesia saat ini maupun di masa datang. Mereka harus dibekali dengan berbagai kemampuan yang handal, yaitu antara lain kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pengajaran matematika di sekolah harus didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka secara maksimum. Dengan memahami bagaimana proses pemerolehan pengetahuan bagi setiap orang yang belajar seperti telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika yang proses pembelajarannya berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur (pandangan behaviorist) tidaklagi dapat dipertahankan. Karena seperti apa yang kita ketahui dan kita rasakan saat ini ternyata hasilnya tidak dapat memenuhi tuntutan keadaan sekarang maupun masa akan datang; dan (2) paradigma pembelajaran matematika kini dan yang akan datang harus lebih ditumpukan pada pandangan gestaltist dan constructivist. Dengan mendasarkan pada pandangan ini maka pembelajaran lebih berpusat pada peserta didik, bersifat analitik, dan lebih berorientasi pada proses pembentukan pengetahuan dan penalaran.


Pustaka Acuan
Bell, H. F. 1981. Teaching and Learning Matehmatics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company.
Ernest, Paul. 1996. “Varieties of Constructivism: A Framework For Comparison”.
In Seteffe, L.P. & Nesher, Pearla (Ed). Theories of Matehmatical Learning.
New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates, Publisher.
----------------1991. The Philosophy of Mathematics Education. Hamisphere:
The Parmer Press
Grows, D.A. 1992. Handbook af Research on Mathematics Teaching and Learning.
New York: Macmillan Publishing Co.
Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP
Malang
--------------------- 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Konstruktivistik (Makalah disjikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
Matematika PPS IKIP Malang). Malang.
--------------------- 2003. Guru Matematika Konstruktivis (Constructivist Mathematics
Teacher). (Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pendidikan
Matematika tanggal 27-28 Maret 2003 di Universitas Sanata Darma):
Yogyakarta.
Orton, Anthony. 1991. Learning Mathematics: Issue, Theory and Classroom
Practice. Iowa: Cassel
Resnick, B.L. & Ford, W.W. 1981. The Psycology of Matehamtics for Instruction.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta
Stiff, V.L, Johnson, L.J, and Johnson, R.M. 1993. “Cognitive Issue in Mathematics
Education”. In Wilson. I & Patricia. S (Ed). Reseach Ideas for The Classroom: High School Mathematics. New York: Macmillan Publishing Company.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
*) Tenaga pengajar pada program studi pendidikan matematika Universias Muhammadiyah Palembang dan Mahasiswa S-3 Pendidikan Matematika pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Penilaian Kelas (Classroom Assessment) dalam Penerapan Standard Kompetensi
Oleh: Bahrul Hayat, Ph.D
Pendahuluan
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia telah banyak disadari oleh berbagai pihak, terutama oleh para pemerhati pendidikan di Indonesia. Rendahnya mutu pendidikan ini dapat dilihat, antara lain, dari rendahnya rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk semua bidang studi yang di-UAN-kan, baik di tingkat nasional mapun daerah. Dalam perbandingan internasional, sebagaimana dilaporkan dalam The Third Inter-national Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika dari 38 negara peserta. Di Asia Tenggara, untuk kedua bidang studi tersebut Indonesia berada di bawah Malaysia dan Thailand, dan sedikit di atas Filipina. Bahkan hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada pada peringkat terakhir dari 12 negara, dan berada di bawah Vietnam yang menempati peringkat 11. Sehubungan dengan kondisi tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah kecuali melakukan berbagai pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan secara menyeluruh agar bangsa ini dapat bersaing di era global yang semakin kompetitif. Dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sedang melakukan penyempurnaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang akan diberlakukan pada tahun-tahun mendatang. Upaya penyempurnaan kurikulum ini merupakan respon atas berbagai kritik dan tanggapan terhadap konsep dan implementasi kurikulum 1994 yang dianggap memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan, baik dari segi substansi maupun pendekatan dan organisasi kurikulum. Perubahan kurikulum ini juga paralel dengan diterapkannya otonomi pendidikan di tingkat kabupaten dan kota, serta pendekatan manajemen berbasis sekolah (school-based management) dan pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
Perubahan kurikulum kali ini hendaknya dipahami tidak hanya sekedar penyesuaian substansi materi dan format kurikulum dengan tuntutan perkembangan, tetapi pergeseran paradigma (paradigm shift) dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan pendidikan berorientasi hasil atau standard (coutcome-based eduation). Secara lebih sederhana, apa yang harus ditetapkan sebagai kebijakan kurikuler secara nasional oleh Depdiknas bergeser dari pertanyaan tentang apa yang harus diajarkan (kurikulum) ke pertanyaan tentang apa yang harus dikuasai anak (standard kompetensi) pada tingkatan dan jenjang pendidikan tertentu.
Standard Kompetensi
Mengapa suatu sistem pendidikan memerlukan standard? Sebuah standard, serendah apapun ia, diperlukan karena ia berperan sebagai patokan dan sekaligus pemicu untuk memperbaiki aktivitas hidup. Dalam konteks pendidikan, standard diperlukan sebagai acuan minimal (dalam hal kompetensi) yang harus dipenuhi oleh seorang lulusan dari suatu lembaga pendidikan sehingga setiap calon lulusan dinilai apakah yang bersangkutan telah memenuhi standard mini-mal yang telah ditetapkan. Dengan diterapkannya standard kompetensi sebagai acuan dalam proses pendidikan diharapkan semua komponen yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan di semua tingkatan, termasuk anak didik itu sendiri akan mengarahkan upayanya pada pencapaian standard dimaksud. Diharapkan dengan pendekatan ini guru memiliki orientasi yang jelas tentang apa yang harus dikuasi anak di setiap tingkatan dan jenjang, serta pada saat yang sama memiliki kebebasan yang luas untuk mendesain dan melakukan proses pembelajaran yang ia pandang paling efektif dan efisien untuk mencapai standard tersebut. Dengan demikian, guru didorong untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) serta tidak berorientasi pada pencapaian ‘target kurikulum’ semata.
Pendekatan standard kompetensi memiliki ciri, antara lain:
·
Adanya visi, misi dan tujuan pendidikan yang disepakati secara bersama di tingkat nasional
·
Adanya standard kompetensi lulusan (exit outcome) yang secara konsisten dan jelas dijabarkan dari tujuan pendidikan
·
Adanya kerangka kurikulum dan silabus yang merupakan artikulasi yang ketat dari kompetensi lulusan
·
Adanya sistem penilaian acuan kriteria (criterion-referenced assessment) dan standard pencapaian (performance standard) yang diterapkan secara konsisten.
Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Seperti dijelaskan di atas, implikasi dari diterapkannya standard kompetensi adalah proses penilaian yang dilakukan oleh guru baik yang bersifat formatif maupun sumatif harus menggunakan acuan kriteria. Untuk itu, dalam menerapkan standard kompetensi guru harus: · Mengembangkan matriks kompetensi belajar (learning competency ma-
trix) yang menjamin pengalaman belajar yang terarah, · Mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic assessment) yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi. Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan
secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Berikut adalah prinsip-prinsip penilaian otentik. · Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not apart from, instruction), · Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world prob-lems), bukan masalah dunia sekolah (school work-kind of problems), · Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metoda dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar, · Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan sensori-motorik). Tujuan penilaian di kelas oleh guru hendaknya diarahkan pada empat (4) hal berikut.
1. Keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana,
2. Checking-up, yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran,
3. Finding-out, yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran
4. Summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum.
Agar tujuan penilaian tersebut tercapai, guru harus menggunakan berbagai metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang dilaluinya. Tujuan dan pengalaman belajar tertentu mungkin cukup efektif dinilai melalui tes tertulis (paper-pencil test), sedangkan tujuan dan pengalaman belajar yang lain (seperti bercakap dan praktikum IPA) akan sangat efektif dinilai dengan tes praktek (perfor-mance assessment). Demikian juga, metoda observasi sangat efektif digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam kelompok, dan skala sikap (rating scale) sangat cocok untuk menilai aspek afektif, minat dan motivasi anak didik. Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman belajar yang telah ditetapkan.
Di samping itu, karena tujuan utama dari penilaian berbasis kelas yang dilakukan oleh guru adalah untuk memantau kemajuan dan pencapaian belajar siswa sesuai dengan matriks kompetensi belajar yang telah ditetapkan, guru atau wali kelas diharapkan mengembangkan sistem portefolio individu siswa (student portfolio) yang berisi kumpulan yang sistematis tentang kemajuan dan hasil belajar siswa. Portefolio siswa memberikan gambaran secara menyeluruh tentang proses dan pencapaian belajar siswa pada kurun waktu tertentu. Portefolio siswa dapat berupa rekaman perkembangan belajar dan psikososial anak (developmental), catatan prestasi khusus yang dicapai siswa (showcase), catatan menyeluruh kegiatan belajar siswa dari awal sampai akhir (comprehensive), atau kumpulan tentang kompetensi yang telah dikuasai anak secara kumulatif (exit). Portefolio ini sangat berguna baik bagi sekolah maupun bagi orang tua serta pihak-pihak lain yang memerlukan informasi secara rinci tentang perkembangan belajar anak dan aspek psikososialnya sehingga mereka dapat memberikan bimbingan dan bantuan yang relevan bagi keberhasilan belajar anak.
Penutup
Penyempurnaan kurikulum 1994 hendaknya dipahami tidak sekedar proses penyesuaian kurikulum dengan tuntutan perkembangan, tetapi lebih pada pergeseran paradigma pendidikan yang berorientasi masukan (input) ke pendidikan berorientasi hasil (outcome). Standard kompetensi sebagai bentuk penyempurnaan kurikulum menuntut adanya perubahan orientasi dari semua pihak (stakeholder pendidikan) agar tujuan dan upaya peningkatan mutu pendidikan harus tercermin dari meningkatnya mutu kompetensi lulusan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Diterapkannya standard kompetensi membawa implikasi pada orientasi dan strategi penilaian di kelas oleh guru yang lebih menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran tuntas. Penilaian otentik merupakan pendekatan penilaian yang harus diterapkan oleh guru dengan menggunakan berbagai metoda dan teknik yang sesuai dengan tujuan dan proses serta pengalaman belajar siswa. Agar tujuan dan fungsi penilaian lebih berdayaguna bagi perbaikan belajar anak, portefolio siswa sangat berguna bagi guru, orang tua, dan pihak-pihak lain dalam upaya memberikan bantuan dan bimbingan yang relevan bagi keberhasilan belajar anak.
Daftar Pustaka
Angelo, T.A and Croos, KP. (1993). Classroom assessment technique. San Fransisco: Jossey Bass, Inc. Newmann, F.M. and Associates. (1996). Authentic assessment. San Fransisco: Jossey Bass, Inc. Perrone, V (Ed). (1991). Expanding student assessment. Alexandra: ASCO Popham, W.J. (1995). Classroom assessment. Massachussetts: Allyn and Bacon Walklin, L. (1991). The assessment of Performance and competence. Cheitenham UK : Stanley Thornes, Ltd. Wiggin, G.P. (1993). Assessing student performance. San Fransisco: Jossey Bass, Inc.
Sumber: Kompas Cyber Media - Selasa, 04 April 2006

Matematika Itu Asyik

Matematika sering kali dianggap pelajaran momok. Tak cuma si anak yang kebingungan, orang tua pun sering dibuat kalang kabut.
Segala daya dikerahkan para orang tua bagi anaknya. Mulai dari les sampai ikut bimbingan belajar. Tapi beberapa waktu terakhir ada lembaga yang khusus menyelenggarakan kursus matematika. Ada yang menggunakan Metode Kumon, sementara lainnya menggunakan alat bantu sempoa.
Kembangkan potensi individu
Sebenarnya nama Kumon adalah nama keluarga penemu metode belajar matematika, Toru Kumon. Guru matematika SMU di Jepang itu pada tahun 1954 pertama kali menyusun sendiri bahan pelajaran matematika untuk membimbing anaknya belajar matematika. Setelah terbukti memberi hasil memuaskan pada anaknya dan juga anak didik dan tetangga dekatnya, ia pun ingin menerapkan cara belajar dan bahan pelajaran ini kepada sebanyak mungkin anak. Tak heran dengan sifatnya yang universal, kini Metode Kumon telah dapat diterapkan di 40 negara, termasuk Indonesia.
Prinsip dasar metode yang disebarluaskan ke Indonesia pada Oktober 1993 ini adalah pengakuan tentang potensi dan kemampuan individual tiap siswa. "Maka, seseorang yang mendaftar kursus Kumon harus mengikuti tes penempatan," tutur Suita Sary Halim, pimpinan penyelenggara kursus Kumon. Tes penempatan itu untuk mengetahui titik pangkal siswa, supaya siswa dapat mengerjakan bahan pelajaran sesuai dengan kemampuannya. Tak heran bila soal itu biasanya bisa selesai dalam batas waktu tertentu, biasanya hanya dalam hitungan menit.
Setelah itu, ia akan terus berlatih mengerjakan soal-soal latihan sesuai kemampuan, daya konsentrasi dan ketangkasan, bukan berdasar tingkat kelas formal atau usia siswa saja. Siswa SD kelas II bisa saja menghadapi soal latihan untuk SD kelas I, "Karena mungkin yang ia kuasai benar baru pelajaran di kelas I," ujar Suita.
Sebagai contoh, mungkin saja ada siswa SD kelas II yang harus belajar penambahan yang termudah. Misalnya, 1 + 1 = 2, 2 + 1 = 3, 3 + 1 = 4, 4 + 1 = 5, 5 + 1 = 6, dst. Namun begitu jangan dianggap enteng karena ia harus menyelesaikan sebanyak 50 soal hitungan serupa hanya dalam waktu 2 menit. Latihan itu dilakukan berulang kali, sampai ia menguasai dan mampu di luar kepala menjawab soal serupa. Selanjutnya, ia akan meningkat ke bagian berikut, namun dengan tingkat perbedaan kesulitan yang sangat kecil, misalnya 1 + 2 = 3, 2 + 2 = 4, dan seterusnya.
Maka jangan kaget bila dalam kelas bisa ditemukan siswa dalam berbagai tingkat usia. Begitu pun, beberapa siswa yang duduk di tingkat kelas yang sama tidak berarti akan memulai mengerjakan soal latihan yang sama pula. "Kembali lagi karena masalah potensi dan kemampuan yang berbeda dari tiap siswa. Maka yang diterapkan adalah belajar perseorangan," tutur Suita sambil menambahkan tiap siswa Kumon mendapat bahan pelajaran yang berbeda dengan siswa lainnya, baik jumlah lembar kerja maupun tingkat bahan pelajarannya.
Karena mulai belajar dari bagian yang tepat, dalam arti sesuai dengan kemampuannya, dan program dibuat secara perseorangan, siswa tidak akan menemui kesulitan belajar. Yang muncul justru perasaan senang belajar matematika. Penyebab yang lain karena di lembaga ini tidak tertutup kemungkinan untuk merevisi dan mengembangkan bahan pelajaran agar anak-anak tidak mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak kehilangan semangat belajarnya. Selain itu prestasi antara satu siswa dengan yang lain tidak dibanding-bandingkan, sehingga kalaupun ada yang agak lambat mencapai kemajuan tidak akan merasa kecil hati dan putus asa.
Uniknya, berkat metode yang mengunggulkan kemampuan dan semangat belajar perseorangan itu, biasanya setelah 6 bulan - 1 tahun, siswa sudah bisa mencapai tingkat pelajaran di sekolahnya, setelah itu melampauinya. Kemajuan dari hasil belajar siswa Kumon memang sangat bervariasi. Ada siswa yang menyelesaikan seluruh bahan pelajaran Metode Kumon, hingga level Q mengenai probabilitas dan statistika, dalam waktu 2 tahun 10 bulan. "Namun, sekecil apa pun kemajuannya, kami akan selalu mengakui setiap hasil yang telah mereka capai dan menunjukkan jalan agar pada diri setiap anak timbul rasa percaya diri dan keberanian," ujar Suita sambil menambahkan pada umumnya prestasi siswa sesudah mengikuti kursus metode ini meningkat, terutama dari segi akademis.
Disiplin berlatih
Kumon menilai kunci keberhasilan belajar matematika adalah dengan banyak berlatih. Tak heran bila selama belajar dengan Metode Kumon siswa akan mendapat banyak porsi latihan. Dalam tiap satuan lembar kerja terdapat puluhan soal, sehingga untuk satu materi bahasan ia akan mengerjakan hingga ratusan soal latihan. Maka, untuk menyelesaikan seluruh topik bahasan, bila ia jadi siswa sejak tingkat pertama, jumlah soal latihan yang dikerjakannya tentu mencapai puluhan ribu!
Di Kumon, menurut Suita, siswa yang sudah punya kemampuan cukup yang bisa maju ke tingkat lebih tinggi. Bagi yang belum cukup akan terus mendapat pengulangan, sehingga nantinya ia tidak mendapat kesulitan saat mengerjakan bahan pelajaran yang lebih tinggi.
Selain itu Kumon memberlakukan sistem nilai 100, artinya tiap latihan harus benar dikerjakan semua sebelum bisa berganti lembar pelajaran. Siswa yang melakukan kesalahan harus memperbaiki sendiri sampai mendapat nilai 100. Cara ini dinilai efektif agar siswa tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Namun, kenaikan tingkat sering kali tidak terasa. Ini karena perubahan bahan pelajaran dibuat sedemikian kecil, bahkan halus dan sistematis. Bahan pelajaran meningkat seiring dengan kemampuan penalaran sendiri, jarang sekali ia harus minta bantuan pembimbing. Cara ini akan membentuk kebiasaan belajar mandiri yang berguna untuk menggali potensi diri-sendiri.
Selain materi pelajaran, waktu belajar siswa pun digodok matang. Siswa umumnya datang ke kelas 2 kali seminggu dengan waktu belajar rata-rata 30 menit, tergantung tingkat bahan pelajarannya. "Namun, di luar hari kelas, mereka mendapat PR dengan jumlah yang tepat sesuai kemampuannya setiap hari," ujar Dani Wulansari, staf lembaga Metode Kumon.
Semua cara belajar itu diterapkan pada seluruh peserta kursus tanpa memandang usia, karena Kumon memang bisa diikuti oleh siswa pada usia berapa pun. "Pendaftarannya pun terbuka setiap saat," ujar Dani sambil menambahkan sebaiknya siswa mempelajari metode ini sejak usia dini, karena hasilnya tentu akan lebih memuaskan. Yang terutama dirasakan adalah kemampuan berpikir matematis akibat latihan mengkoordinasikan angka-angka menggunakan otak dan tangan. Khususnya latihan hitungan dengan Metode Kumon akan terasa sangat membantu untuk mengenal matematika tingkat SMP dan SMA, sehingga ia akan dengan mudah mengerjakan soal-soal persamaan, pemfaktoran, juga diferensial dan integral.
Dengan demikian, Metode Kumon bukan hanya meningkatkan penguasaan matematika, tapi juga berbagai kemampuan belajar pada anak, mulai dari konsentrasi dan ketangkasan kerja, semangat kebiasaan belajar mandiri, kebiasaan belajar setiap hari. Bila ia bisa menyelesaikan soal latihan matematika dari sekolah dengan cepat, maka ia bisa menggunakan sisa waktu untuk mempelajari ilmu lain. Alhasil, pelajaran lain pun pasti akan meningkat.
Dari pasir sampai manik-manik
Konon dengan sempoa seorang anak dapat menjawab sederetan soal hitungan penjumlahan dan pengurangan hanya dalam beberapa menit. Yang dilakukannya cuma menjentak-jentikkan biji manik-manik sempoanya dengan cekatan.
Sempoa memang bukan barang baru. Diduga alat hitung ala abakus pertama dimiliki suku Babilonia dalam bentuk sebilah papan yang ditaburi pasir. Di atasnya orang bisa menorehkan berbagai bentuk huruf atau simbol. Tak heran bila ia disebut abakus yang dalam bahasa Yunaninya abakos, artinya 'menghapus debu'. Ketika berubah fungsi menjadi alat hitung, bentuknya pun diubah. Permukaan pasir itu menjadi papan yang ditandai garis-garis lengkap dengan sejumlah manik-manik satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya.
Alat itu makin disempurnakan di zaman Romawi. Papannya dibuat berlekak-lekuk cekung agar saat menghitung manik-manik mudah digerakkan dari atas ke bawah.
Orang Cina mengembangkan "hsuan-pan" (nampan penghitung) alias abakus itu menjadi dua bagian. Pada jeruji atas dimasukkan dua manik-manik dan jeruji bawah lima manik-manik. Di abad pertengahan abakus makin tersebar luas, di antaranya sampai ke Eropa, Arab, dan seluruh Asia.
Abakus sampai di Jepang pada abad ke-16. Namun Jepang mengubah susunan manik-manik menjadi satu pada jeruji atas dan empat di jeruji bawah. Satu manik-manik jeruji atas bernilai lima dan empat di jeruji bawah (dimulai dari tengah ke kiri) bernilai satuan, selanjutnya puluhan, ratusan, dan seterusnya. Sedangkan di bagian tengah ke kanan untuk menghitung bilangan desimal. Rupanya abakus ala Jepang ini yang belakangan populer kembali, termasuk di Indonesia.
Menanam sempoa di otak
Munculnya mesin hitung elektronika di AS tahun 1946, rupanya tidak menggoyahkan kepopuleran sempoa. Malah anak yang sudah sangat fasih menghitung dengan metode sempoa telah dibuktikan mampu mengalahkan cara hitung dengan komputer.
Belakangan berbagai kursus mental aritmatika sempoa memang menjamur di kota-kota besar. Menurut salah satu penyelenggara kursus, yaitu Yayasan Aritmatika Indonesia (YAI) yang mengambil lisensi dari Malaysia, berhitung metode sempoa hanya melibatkan hitungan tambah, kurang, kali, dan bagi.
Satu paket belajar terdiri atas 10 tingkat yang kenaikannya harus melalui ujian. Pada tingkat I - III anak belajar penjumlahan dan pengurangan. Pada tingkat IV diajarkan perkalian dan pembagian. Bila satu tingkat selesai dalam tiga bulan, berarti untuk menamatkan 10 tingkat perlu waktu 30 bulan atau 2,5 tahun. Umumnya bila sudah sampai tingkat terampil, mungkin setelah belajar 6 bulan - 1 tahun, sekitar tingkat II atau III, murid diharapkan mampu menghitung tanpa alat bantu apa pun. Sepuluh baris pertanyaan perkalian tiga digit angka dengan tiga digit angka bisa selesai kurang dari 30 detik!
Hal ini bisa terjadi karena anak sudah hapal lokasi satuan, puluhan, ratusan, dst. Cukup dengan membayangkan posisi manik-manik sempoa sambil memainkan jari-jari tangannya, ia bisa menemukan hasil hitungan. Pada tingkat ini ia sudah mampu menghitung cepat di luar kepala. Visualisasi penggunaan sempoa sudah tertanam dalam otaknya.
Namun, ada catatan penting lain, menurut sistem YAI, pelatihan aritmatika sempoa paling sesuai untuk anak usia 6 - 12 tahun karena mereka sedang dalam taraf mempelajari metode dasar eksakta.
"Pikiran mereka masih jernih, belum terlalu dipengaruhi metode aritmatika lain," tutur Ibu Tia, praktisi sistem YAI di Sanggar Kreativitas Bobo, Jakarta.
Akhirnya, selain bisa berhitung cepat, metode ini berguna untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi otak, khususnya otak kanan yang meliputi daya analisis, ingatan, logika, imajinasi, reaksi tinggi, dll. Menurut teori mental aritmatika, pemahaman atas disiplin dasar eksakta ini akan membuat anak mampu menguasai dan menggunakan secara optimal seluruh potensi dan kreativitas dirinya, termasuk menyerap ilmu-ilmu lanjutannya nanti. Untuk kehidupan sehari-hari latihan ini akan melatih mental anak agar menjadi lebih tekun serta disiplin.
Ilmu kemampuan dasar
Kemampuan menghitung dengan cepat, tentu akan menunjang anak dalam pelajaran matematika di sekolah. Atas pertimbangan itu Kepala Sekolah SD Dharma Karya Drs. H. Masduki memasukkan metode ini dalam mata pelajaran di sekolah yang dipimpinnya. "Karena saya pernah melihat ada anak SMP yang menghitung masih dengan alat bantu jari-jari tangan."
Selain itu, ia membaca di surat kabar rencana akan makin banyaknya diterapkan ilmu kemampuan dasar di tingkat pendidikan dasar. Menurut dia, "Salah satu ilmu kemampuan dasar adalah aritmatika yang meliputi penguasaan berhitung tambah, kurang, kali, bagi." Bila landasan berhitungnya cukup kuat, siswa tentu tak akan menghadapi masalah dalam memahami matematika yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan GBPP.
SD Dharma Karya mengajarkan metode sempoa aritmatika sejak tahun ajaran baru silam dengan mengambil dua jam dari 10 jam pelajaran matematika. Metode ini diperkenalkan pada siswa kelas I hingga VI. "Repotnya, kalau diajarkan pada siswa di kelas V atau VI, mental berhitung mereka sudah terbentuk yaitu menghitung dengan alat bantu jari tangan, sedangkan jumlah jari tangan sangat terbatas. Tak heran, kalau sering kali matematika sulit dikuasai karena tidak ada bekal ilmu berhitung," aku Wito, guru mata pelajaran metode sempoa.
Nantinya, murid kelas I sekarang saat duduk di kelas V akan mendapat pelajaran aritmatika sosial. "Siswa belajar menerapkannya dalam masalah sehari-hari, misalnya saat berbelanja," tutur Wito yang mengaku sempat bekerja keras merakit sempoa sederhana untuk dipakai berlatih murid-muridnya.
Ternyata Wito punya target yang sama dengan YAI, yaitu memasukkan sempoa bayangan ke otak anak. Tugas pertamanya adalah bagaimana agar muridnya lancar mengoperasikan sempoa. Di otak setiap gerakan bisa punya makna dalam hitungan. Sehingga kalau pun tanpa sempoa siswa tak akan kesulitan dalam berhitung.
Menurut Wito, murid-muridnya tak pernah bosan belajar dengan sempoa. Murid-muridnya tak merasa sedang belajar, malah lebih merasa sedang bermain manik-manik sempoa.
Masduki tak mengingkari masalah yang mungkin muncul. Berbeda dengan kursus, di mana satu anak punya sempoa sendiri yang bisa dipakai berlatih di rumah, sempoa di sekolahnya hanya dipinjamkan pada siswa saat pelajaran. Belum lagi jumlah siswa satu kelas yang mencapai 35 orang, sehingga mungkin saja ada anak yang agak lambat menguasainya. "Namun, selalu ada jalan keluar, misalnya memberi pengajaran remedial atau pengayaan," tutur Masduki yang, sama seperti guru dan orang tua mana pun, bertekad memberikan bekal terbaik untuk generasi penerusnya. (Shinta Teviningrum/Nanny Selamihardja)

Menjadi Guru Yang Profesional

Oleh: Sura J. Kitti *)
Kata "orang", guru adalah pencetak kader-kader bangsa, pencetak pemimpin bangsa, dst … dst. Pemerintah negeri ini pernah menyakan bahwa guru adalah PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Banyak sekali ungkapan-ungkapan yang meninggikan profesi guru. Tetapi … mengapa profesi guru kurang diminati/sangat tidak diminati oleh anak bangsa negeri ini. Dan … mengapa nasib guru banhkan di bawah garis kemiskinan. Guru yang menurut sebagian orang adalah kepanjangan dari "yang digugu dan yang ditiru" adalah suatu profesi yang mengutamakan intelektualitas yang tinggi, yang menuntut kepandaian, kecerdasan, keahlian berkomunikasi, kebijaksanaan dan kesabaran yang tinggi. Tidak semua orang dapat menekuni profesi guru dengan baik. Kepandaian dan kecerdasan bukan penentu keberhasilan seorang guru. Oleh karena orang yang pandai belum tentu dapat memindahkan ilmunya dengan baik kepada orang lain. Apalagi jika orang yang pandai itu menganggap orang lain sama seperti dirinya.
Bagaimana menjadi guru yang baik (profesional)?
Tidak mudah menjadi guru yang baik, dikagumi dan dihormati oleh anak didik, masyarakat sekitar dan rekan seprofesi. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang guru untuk mendapat pengakuan sebagai guru yang baik dan berhasil.
Pertama. Berusahalah tampil di muka kelas dengan prima. Kuasai betul materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Jika perlu, ketika berbicara di muka kelasa tidak membuka catatan atau buku pegangan sama sekali. Berbicaralah yang jelas dan lancar sehingga terkesan di hati siswa bahwa kita benar-benar tahu segala permasalahan dari materi yang disampaikan.
Kedua. Berlakulah bijaksana. Sadarilah bahwa siswa yang kita ajar, memiliki tingkat kepandaian yang berbeda-beda. Ada yang cepat mengerti, ada yang sedang, ada yang lambat dan ada yang sangat lambat bahkan ada yang sulit untuk bisa dimengerti. Jika kita memiliki kesadaran ini, maka sudah bisa dipastikan kita akan memiliki kesabaran yang tinggi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan dari anak didik kita. Carilah cara sederhana untuk menjelaskan pada siswa yang memiliki tingkat kemampuan rendah dengan contoh-contoh sederhana yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari walaupun mungkin contoh-contoh itu agak konyol.
Ketiga. Berusahalah selalu ceria di muka kelas. Jangan membawa persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan dari rumah atau dari tempat lain ke dalam kelas sewaktu kita mulai dan sedang mengajar.
Keempat. Kendalikan emosi. Jangan mudah marah di kelas dan jangan mudah tersinggung karena perilaku siswa. Ingat siswa yang kita ajar adalah remaja yang masih sangat labil emasinya. Siswa yang kita ajar berasal dari daerah dan budaya yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya dan berbeda dengan kebiasaan kita, apalagi mungkin pendidikan di rumah dari orang tuanya memang kurang sesuai dengan tata cara dan kebiasaan kita. Marah di kelas akan membuat suasana menjadi tidak enak, siswa menjadi tegang. Hal ini akan berpengaruh pada daya nalar siswa untuk menerima materi pelajaran yang kita berikan.
Kelima. Berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan siswa. Jangan memarahi siswa yang yang terlalu sering bertanya. Berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan siswa dengan baik. Jika suatu saat ada pertanyaan dari siswa yang tidak siap dijawab, berlakulah jujur. Berjanjilah untuk dapat menjawabnya dengan benar pada kesempatan lain sementara kita berusaha mencari jawaban tersebut. Janganlah merasa malu karena hal ini. Ingat sebagai manusia kita mempunyai keterbatasan. Tapi usahakan hal seperti ini jangan terlalu sering terjadi. Untuk menghindari kejadian seperti ini, berusahalah untuk banyak membaca dan belajar lagi. Jangan bosan belajar. Janganlah menutupi kelemahan kita dengan cara marah-marah bila ada anak yang bertanya sehingga menjadikan anak tidak berani bertanya lagi. Jika siswa sudah tidak beranibertanya, jangan harap pendidikan/pengajaran kita akan berhasil.
Keenam. Memiliki rasa malu dan rasa takut. Untuk menjadi guru yang baik, maka seorang guru harus memiliki sifat ini. Dalam hal ini yang dimaksud rasa malu adalah malu untuk melakukan perbuatan salah, sementara rasa takut adalah takut dari akibat perbuatan salah yang kita lakukan. Dengan memiliki kedua sifat ini maka setiap perbuatan yang akan kita lakukan akan lebih mudah kita kendalikan dan dipertimbangkan kembali apakah akan terus dilakukan atau tidak.
Ketujuh. Harus dapat menerima hidup ini sebagai mana adanya. Di negeri ini banyak semboyan-semboyan mengagungkan profesi guru tapi kenyataannya negeri ini belum mampu/mau menyejahterakan kehidupan guru. Kita harus bisa menerima kenyataan ini, jangan membandingkan penghasilan dari jerih payah kita dengan penghasilan orang lain/pegawai dari instansi lain. Berusaha untuk hidup sederhana dan jika masih belum mencukupi berusaha mencari sambilan lain yang halal, yang tidak merigikan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri. Jangan pusingkan gunjingan orang lain, ingatlah pepatah "anjing menggonggong bajaj berlalu."
Kedelapan. Tidak sombong.Tidak menyombongkan diri di hadapan murid/jangan membanggakan diri sendiri, baik ketika sedang mengajar ataupun berada di lingkungan lain. Jangan mencemoohkan siswa yang tidak pandai di kelas dan jangan mempermalukan siswa (yang salah sekalipun) di muka orang banyak. Namun pangillah siswa yang bersalah dan bicaralah dengan baik-baik, tidak berbicara dan berlaku kasar pada siswa.
Kesembilan. Berlakulah adil. Berusahalah berlaku adil dalam memberi penilaian kepada siswa. Jangan membeda-bedakan siswa yang pandai/mampu dan siswa yang kurang pandai/kurang mampu Serta tidak memuji secara berlebihan terhadap siswa yang pandai di hadapan siswa yang kurang pandai.
HAMBATAN-HAMBATAN
Banyak hambatan yang dihadapi seorang guru untuk menjadi guru yang baik. Beberapa hambatan tersebut diantaranya adalah:
1. Gaji yang terlalu pas-pasan bahkan mungkin kurang. Gaji yang pas-pasan memaksa seorang guru untuk mencari nafkah tambahan seusai jam kerja. Hal ini mengakibatkan tidak memiliki kesempatan untuk membuat persiapan mengajar dengan membaca ulang materi pelajaran yang akan diajarkan besok hari. Hal ini dapat mengurangi kesiapan dan penampilan di muka kelas.
2. Tugas-tugas administrasi yang memberatkan. Sejak diberlakukannya kurikulum 1984, banyak tugas-tugas administrasi yang harus dikerjakan seorang guru yang tujuannya untuk meningkatkan profesionalitas seorang guru. Ternyata tugas-tugas ini menjadi beban yang cukup berat dan hampir tidak ada manfaatnya untuk menambah penampilan dan kesiapan seorang guru di muka kaelas. Sebagian besar tugas administrasi dibuat dengan setengah terpaksa hanya untuk menyenangkan hati atasan. Sebagai contoh, seorang guru diwajibkan membuat Program Satuan Pelajaran (PSP), Analisis Materi Pelajaran (AMP) dan Rencana Pengajaran (RP), yang memaksa guru menuliskan uraian yang sama pada tugas pertama dan ditulis ulang pada tugas kedua dan tugas ketiga. Semuanya ini tidak pernah dipakai untuk meringankan beban mengajar di kelas karena tugas-tugas tersebut tidak pernaha dibaca lagi pada waktu akan/dan sedang mengajar. Seorang guru lebih suka membuka dan membaca buku pegangan mengajar daripada membawa Program Satuan Mengajar, Analisis Materi Pelajaran ataupun Rencana Pengajaran. Tugas-tugas ini memang sangat berguna bagi seorang calon guru. Tapi bagi guru yang sudah mengajar lebih dari tiga tahun , tugas ini hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia (dikerjakan, lalu disimpan dalam lemari dan baru akan diperlihatkan jika "sedang sial" dapat kebagian pengawas), yang akhirnya masuk keranjang sampah dan ….Tahun berikutnya dia harus menulis ulang pekerjaan yang sia-sia itu.
Belakangan ini beberapa sekolah yang baik dan dapat dikatakan sudah sangat berhasil tampil sebagai sekolah yang baik, sedang berusaha meningkatkan profesionalitas guru-gurunya yakni dengan memberi tugas tambahan kepada guru-guru untuk menganalisa setiap soal yang diberikan pada setiap kali ulangan. Dari hal tersebut diharapkan guru-guru pada suatu saat menjadi analisator soal yang baik, yang dapat membuat soal super sempurna dan valid jika diberikan kepada setiaap obyek yang di tes. Mungkin perancang ide ini adalah orang yang tidak pernah menjadi guru atau memang bukan guru atau orang yang sengaja memberikan kesibukansedemikan berat bagi guru agar guru tidak memikirkan kenaikan gaji yang terasa sangat pas-pasan. Untuk menganalisa soal diperlukan waktu kira-kira dua puluh lima kali waktu yang diperlukan untuk mengoreksi soal tes. Jika seorang guru mengajar 15 (lima belas) kelas, setiap kelas berisi 40 siswa dan untuk mengoreksi tes setiap siswa diperlukan waktu 5 menit (untuk tes esey) maka setiap kali ulangan seoarang guru memerlukan waktu untuk mengoreksi selama 15 X 40 X 5 menit = 3000 menit atau 50 jam. Jika harus menganalisa soal tes yang diberikan, diperlukan waktu 25 X 50 jam = 1250 jam. Dengan banyaknya waktu yang harus dihabiskan untuk melakukan tugas-tugas ini, kapan seorang guru mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri agar dapat tampil prima di muka kelas? Kapan guru bisa mengajar dengan baik? Oleh karena itu jangan salahkan guru kalau prestasi siswa menurun. Pengalaman sia-sia ini pernah dialami penulis ketika Profesor Daud Yusuf menjadi menteri P & K yang pada masa jabatannya beliau menetapkan perpanjangan waktu belajar selama satu semester. Pada waktu itu beliau mengintruksikan agar guru-guru melakukan "DIAGNOSTIK TES". Pekerjaan ini betul-betul sangat mengasyikkan, sampai anak dan istri dilibatkan dalam pekerjaan besar ini. Lalu hasilnya … masuk keranjang sampah dan tidak ada kelanjutannya. Hasilnya NOL besar.
Lalu apakah ada manfaatnya soal tersebut dianalisa? Jawabnya T I D A K. Mengapa tidak. Soal yang sudah diberikan pada siswa dan sudah dianalisa dan valid, apakah mungkin dipakai lagi untuk tes yang akan datang, jawabnya juga T I D A K, mengapa? Soal yang sudah pernah dikeluarkan, jika dikeluarkan lagi untuk tes berikutnya pasti BOCOR, karena siswa berikutnya pasti sudah mempelajari soal tersebut. Tidak hanya itu. Pada analisa suatu soal untuk kelompok tes siswa A akan berbeda hasilnya dengan kelompok siswa B. Sekumpulan soal yang diberikan pada siswa sekolah A, valid, tetapi jika diberikan pada sekolah B tidak valid atau sebaliknya. Jika ditemukan hal seprti ini, apakah soal ini valid atau tidak? Contoh nyata soal EBTANAS misalnya, untuk sekolah tertentu nilainya sangat baik (katakanlah rata-rata 9), tapi untuk sekolah yang lain nilainya sangat buruk (katakanlah rata-rata 4), bagaimana validitas soal EBTANAS tersebut?, tolonglah dipikirkan. Valid tidaknya suatu soal sangat ditentukan oleh kondisi siswa dan keadaaan serta kesiapan siswa menghadapi tes. Menurut hemat saya yang paling baik adalah membahas soal-soal tes setelah diujikan, beberapa saat setelah diujikan. Di sini akan diketahui apakah soal yang disajikan itu baik atau tidak untuk kelompok tes itu.
Menganalisa soal sebaiknya dilakukan oleh suatu tim analisator yang tugasnya memang mmenganalisa soal, bukan oleh seorang guru yang mengajar si kelas yang tugasnya sudah segudang. Soal-soal yang dianalisa, bukan hanya untuk porsi ulangan rutin sehari-hari namun juga utnuk tes yang sifatny masal untuk tujuan-tujuan tertentu.
JALAN KELUAR
1. Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian guru agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan hidup diriny dan keluarganya dan pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta khawatirakan pendidikan putra-putrinya. Guru mempunyai waktu yang cukup untukmempersiapkan diri tampil prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru dapat meningkatkan profesinya dengan menulis buku materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri untuk mengajar dan membantu guru-guru lain yang belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih berhasil.
2. Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Depdikbud atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru.
3. Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Beri kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya.
Mudah-mudahan di masa depan nasib guru akan lebih baik, lebih dihormati dan lebih diminati anak bangsa.
*) Sura J. Kitti adalah Guru SMUK 1 BPK PENABUR KPS Jakarta

Sumber: BPK Penabur
Kemantapan Diri dan Kompetensi Mengajar

Oleh: Asep Sapa'at
ISU kontroversial tentang standardisasi nilai ujian akhir nasional (UAN) telah menjadi santapan hangat publik dalam beberapa pekan ini. Semua pihak memunyai pandangan sendiri. Tak terkecuali penulis, yang menilai masalah ini sebagai sebuah benturan kebijakan dalam tataran praktis pendidikan, tepatnya kebijakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang berorientasi kepada pengembangan kompetensi dan penilaian prestasi siswa secara komprehensif, yang berbenturan dengan SK Mendiknas yang terkesan hanya menyoroti proses evaluasi terhadap potensi kognitif siswa saja.
Tulisan ini sengaja penulis sampaikan sebagai sebuah wacana dan dalam kesempatan ini penulis tidak begitu tertarik untuk membahas kontroversi di balik kebijakan Mendiknas, tetapi penulis berusaha mengurai makna penting mengenai kemantapan diri dan kompetensi mengajar yang harus dimiliki guru.
Selama ini guru selalu dikebiri dengan kebijakan-kebijakan yang terkesan spontan, dramatis, dan perlu penyesuaian diri yang sangat cepat. Di sisi lain guru menanggung beban yang sangat berat dengan banyak agenda untuk menciptakan kualitas lulusan yang kritis, cerdas, terbuka, produktif dan berakhlak mulia seperti yang diamanatkan oleh berbagai tuntutan, baik dari pemerintah maupun stakeholders pendidikan lainnya. Yang lebih parah lagi, pengembangan diri dan kompetensi dalam konteks pelaksanaan tugas profesinya sangat terbatas.
Sebuah asumsi yang didukung oleh suatu penelitian telah menyatakan adanya korelasi yang signifikan antara tingkah laku dosen dengan persepsi mahasiswa terhadap prestasinya (Kozma, Belle, dan Williams, 1978, dalam Jacob, 2002, h.2).
Jadi, pada dasarnya prestasi subjek didik sangat dipengaruhi oleh kompetensi pengajarnya. Dalam konteks ini perlu dipahami dua definisi penting mengenai sebuah kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu: (1) kompetensi guru adalah himpunan pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan yang dimiliki seorang guru dan ditampilkan untuk situasi mengajar (Anderson, 1989, dalam Jacob, 2002, h.2); (2) kompetensi mengajar adalah tingkah laku pengajar yang dapat diamati (Cruickshank, 1985, dalam Jacob, 2002, h.2).
Sebuah kenyataan yang tidak dapat dimungkiri lagi bahwa profil kompetensi guru sangat berpengaruh besar terhadap prestasi siswa. Guru yang tidak menguasai bahan ajar, tidak menguasai landasan-landasan kependidikan, tidak menguasai psikologi belajar siswa, dan kompetensi lainnya sudah tidak dapat diandalkan lagi dalam konteks pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang yang profesional.
Masalah masih terus berlanjut ketika guru harus menerjemahkan setiap kebijakan yang muncul di luar dugaan. Konsep KBK menuntut guru mesti bersifat fleksibel dan mengubah paradigma pembelajaran yang selama ini sudah mengakar. Selanjutnya disusul oleh kebijakan Mendiknas tentang standardisasi nilai UAN yang mesti menguras pikiran guru dalam membuat strategi pembelajaran baru untuk menyelamatkan siswanya dari bencana ketidaklulusan. Seberapa siapkah guru menghadapi kenyataan ini?
Sungguh berat memang apa yang menimpa guru kita untuk saat ini. Keluh kesah apalagi sikap apatis terhadap setiap perubahan kebijakan tidak akan memberikan pengaruh yang positif dalam menunaikan tugas mulianya. Kemantapan diri, dua kata yang sengaja penulis undang untuk hadir dalam tulisan ini. Bandura (1986) telah memberikan batasan definisi untuk kemantapan diri, yaitu suatu keputusan dari salah satu kemampuan untuk melakukan suatu tugas dalam suatu domain khusus.
Studi yang dilakukan oleh Poole, Okeafor, dan Sloan (1989) dan Smylie (1988) (dalam Jacob, 2002, h.3) telah menemukan bahwa guru dengan kemantapan diri tinggi lebih memungkinkan untuk menggunakan materi kurikulum baru dan untuk mengubah strategi pembelajaran dibandingkan dengan guru berkemantapan diri rendah. Jelasnya, dunia pendidikan kita sangat merindukan hadirnya guru berkemantapan-diri tinggi yang selalu terpacu dalam mengembangkan kompetensi mengajarnya untuk kepentingan pengembangan kompetensi siswa yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap pembangunan bangsa.
Saat ini guru sudah tidak memiliki waktu lagi untuk sekadar berdiam diri dalam menyikapi setiap perubahan cepat yang terjadi di dunia pendidikan. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis melihat ada 4 hal penting yang dapat diusahakan oleh guru untuk membangun kemantapan diri sekaligus mengembangkan kompetensi diri dan kompetensi mengajarnya, di antaranya: (1) membangun kemantapan diri daripada mereduksi ekspektasi dengan terus melakukan regulasi diri yang relevan dengan pengembangan profesinya; (2) mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah (seminar, lokakarya, diskusi ilmiah, dsb) secara berkesinambungan dalam merespons secara aktif setiap isu-isu terbaru yang berkembang di dunia pendidikan; (3) mempelajari hasil-hasil penelitian dari berbagai literatur tentang kompetensi mengajarnya yang berhubungan dengan prestasi subjek didik; (4) sebagai hasil dari analisis tugas mengajar pada tingkat dan kurikulum yang berbeda.
Sungguh guru tidak memiliki banyak pilihan lain untuk bersikap dalam situasi sekarang ini, kecuali terus berpacu meningkatkan kualitas personalnya. Pastikan karya terbaik Anda dapat mengubah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Namun, bagaimana kalau pembuat kebijakan dan stakeholders pendidikan lainnya bersikap acuh tak acuh? Sudah dapat dipastikan badai pendidikan Indonesia takkan pasti berlalu.***
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumber: Pikiran Rakyat Cybermedia










1 comment:

m_win_afgani said...

Bu', yang makalah-makalah kemaren tu upload lah ke web !